Angkasa mengedikkan bahu tak acuh. Ia meneguk air dingin pesanannya hingga tandas. Percakapan ini membuat kerongkongannya kering.

Alih-alih suasana menjadi canggung, Margaretha mencomot asal topik pembicaraan. "Kau mau tahu kenapa aku memilihmu untuk pameran ini?"

"Tidak."

Margaretha terkekeh. "Meski begitu aku akan tetap memberitahumu. Tidak enak rasanya canggung seperti ini."

Angkasa meletakkan kembali cangkir yang telah kosong. Memasang perhatian penuh sebagai tanda hormat pada yang lebih tua. Meski sebenarnya ia sama sekali tidak berminat.

"Setiap kali bertemu dengan para seniman, pasti mereka bertanya kenapa memberi nama waldeinsamkeit pada galeriku. Maknanya terlalu kelam dan miris." Margaretha menjeda kalimatnya. "Namun jawabanku tetap sama. Kau tahu arti dari kata waldeinsamkeit?"

Berpikir sebentar, Angkasa menjawab, "Perasaan kesendirian? Barang kali juga kesepian?"

"Tidak aneh jika kau orang pertama yang tidak menanyakan hal itu." Jeda sebentar. "Aku menamainya waldeinsamkeit karena galeri ini berdiri di titik terkelam kehidupanku."

Angkasa kebingungan. Belum bisa menangkap hubungan nama galeri ini dengan dirinya. "Apa hubungannya denganku?"

Margaretha terkekeh sinis. "Kau sungguh tak tahu atau pura-pura tak tahu? Siapapun yang melihat lukisan pertama di media sosialmu akan langsung paham makna di baliknya."

Cowok yang telah beranjak dewasa itu terdiam. Waldeinsamkeit. Makna kata tersebut seperti sedang mengejek dirinya. Sebagian diri Angkasa tidak setuju. Dia cukup pandai bersosialisasi meski baru pertama kali di Swiss. Awalnya memang sulit, Angkasa tak terlalu fasih berbahasa Inggris. Tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa, bahkan sudah menguasai bahasa Jerman dan Prancis.

Terlepas dari fakta ia punya cukup banyak kenalan, lebih banyak bagian dalam dirinya setuju akan hal itu. Mahir berbahasa asing dan pandai bersosialisasi tidak menjamin ia tidak kesepian. Ada sebuah bilik kecil di hatinya yang masih kosong, pikir Angkasa. Dan dia tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas bukan Vanilla. Meski bertahun-tahun sudah lewat, memori tentang setiap momen yang dihabiskan bersama gadis pujaannya masih melekat kuat.

"Kenapa? Sedang sibuk berpikir sampai tidak sadar ponselmu berdering?"

Lamunannya pecah. Ponsel yang tadi ia banting kini berbunyi nyaring tanda ada panggilan. "Halo?"

"Apa ada masalah, Tuan? Lama sekali Anda menjawabnya."

"Tidak, maaf. Kau sudah sampai?"

"Iya, saya sudah di depan kafe."

Cowok itu sedikit bangkit dari tempatnya guna memeriksa. Tak jauh dari pintu kafe, sopir pribadinya-Virgo-sedang melambaikan tangan dari dalam mobil. Angkasa lantas segera pamit undur diri. Lagi pula topik pembicaraan tadi membuatnya sedikit tidak nyaman. "Sopirku sudah tiba, aku pamit dulu. Terima kasih atas tawaranmu tadi."

Margaretha sedikit membelalak. "Cepat sekali?"

Angkasa mengangguk. Baru saja ia hendak mengangkat kaki, Margaretha duluan mencegat. "Ini kartu namaku. Untuk berjaga-jaga siapa tahu kau berubah pikiran." Wanita itu tersenyum.

Merasa tidak enak hati sudah menolak, Angkasa terpaksa menerimanya. "Baiklah, akan kuhargai usahamu. Sekarang permisi."

Baru sekali melangkah, tapi lagi-lagi cowok itu teringat akan sesuatu. "Oh! Kalau boleh tahu kapan jadwal pameranmu itu?"

"Sekitar 1 bulan lagi. Kenapa?"

"Seperti yang kau bilang, bisa saja aku tiba-tiba berubah pikiran. Siapa tahu, bukan?"

8 LETTERS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang