Singto mengangkat pandangannya,"Sea, sepertinya nanti P' tidak bisa menjemputmu. Kau pulang bersama Nanon ya?"

"Baik, P'"

"Kalau boleh, aku bisa menjemput Sea," sahut Krist malu-malu. Singto dan Sea serentak menatap Krist.

Krist berdeham,"Hari ini aku tidak bekerja. Cafe ditutup untuk hari ini," jelas Krist.

"Jika itu tidak memberatkanmu, tidak masalah," jawab Singto enteng.

Sea? Sudah kembali berceloteh riang karena senang hari ini Krist akan menjemputnya.

***

Tet.. Tet.. Tet..

Bunyi bel sekolah pertanda pulang pun disambut gembira oleh semua murid. Tak terkecuali Sea dan Nanon. Mereka kompak segera merapihkan tas, tidak ingin berlama-lama di sekolah setelah belajar matematika yang membuat kepala mereka pusing atau belajar sejarah yang membuat mereka mengantuk.

"Hari ini P'Krist akan menjemputku!" ujar Sea sambil terus merapihkan buku dan juga alat tulisnya.

"Oh ya?"

"Iya! Hei, bagaimana jika kita mengajak P'Krist ke game centre?"

Nanon langsung melotot,"Kau ingin kita bertiga termasuk P'Krist tersayangmu itu digantung oleh P'Singto? Jika kau bersedia, terserah. Aku masih sayang dengan nyawaku,"

Sea manyun,"P'Sing tidak segalak itu.."

"Ha! Siapa yang menghukum kita untuk membersihkan ruang kerjanya?"

"Siapa yang mengadukanku pada ibuku?"

"Siapa yang membuntuti kita selama sepekan hanya karena kita bermain dan lupa waktu?"

Semua pertanyaan Nanon telak mengenai Sea. Dan semua itu benar, Singto mampu melakukan hal itu bahkan bisa jauh lebih kejam. Tidak. Terimakasih. Nanon tidak ingin menyia-nyiakan nyawanya begitu saja.

Nanon berdecak melihat tampang murung Sea,"Bagaimana jika makan ice cream?"

"Setuju!" seru Sea dengan muka cerahnya, berbanding nyaris 180 derajat dari beberapa detik yang lalu.

***

"jyadi P' tau? Ithu dhia jhelek sekhaliii!" celoteh Sea tidak jelas karena mulutnya penuh oleh ice cream.

"Kunyah makananmu dulu, Sea." Perintah Krist lembut sambil membersihkan pipi Sea dengan tissu.

Sea menelan sempurna ice cream yang ada di mulutnya,"Iya, P'! Mulai saat itu wanita yang berdandan tebal tadi tidak pernah menemui P'Singto lagi! Hahahaha!" Sea tertawa terbahak-bahak sambil nyaris tersandung.

Krist, Nanon dan juga Sea sedang berjalan menuju rumah sambil memakan ice cream yang ada di tangan mereka. Sejak tadi Sea tidak henti-hentinya bergosip mengenai para wanita yang sudah 'berani' mendekati Singto. Namun para wanita tadi selalu kembali dengan kekecewaan maupun kemarahan. Sea selalu tahu kapan wanita-wanita itu akan menemui kakaknya lalu akan menjahili mereka semua—dibantu Nanon tentu saja—sampai mereka kapok dan tidak akan kembali.

"Aku kira P'Singto akan memarahiku tapi ternyata tidak, P'Sing malah berkata "Bagus sekali, Sea. P' tidak tertarik dengan para wanita itu" wah, aku langsung bersorak gembira dengan Nanon," lanjut Sea.

"Dan setelahnya P'Singto mentraktir kita banyak sekali makan! Ah.. aku jadi lapar.." timpal Nanon.

Krist tersenyum dalam diam. Entah mengapa dirinya lega mendengar semua kabar itu. Tentu saja siapa yang akan menolak pesona Singto? Siapa pula yang bisa tidak tertarik olehnya? Baiklah, Krist mulai berpikir yang tidak seharusnya.

"Tapi, Sea, bagaimana kabar P'Prae?" tanya Nanon sambil terus melahap ice cream-nya.

Tiba-tiba Sea berhenti berjalan lalu mendelik ganas pada Nanon,"Tidak tahu, tidak perduli."

Setelahnya Nanon hanya mengangguk, tidak membalas lagi. Krist, Nanon dan juga Sea kembali berjalan dengan diam. Candaan mereka tadi seperti tidak ada hadirnya. Menghilang dengan cepat. Sea sendiri enggan untuk berbicara, Nanon sibuk dengan ice creamnya, dan Krist hanya berjalan sambil memerhatikan jalan. Hati Krist tersentil. Nama tadi berhasil mengusik kedamaian hatinya beberapa saat lalu. Krist menghela napas, seharusnya tidak perlu sampai seperti ini, Krist....

***

Krist duduk di sofa ruang tengah dengan gelisah. Sesekali matanya bergerak melihat jam di dinding lalu kembali menatap pintu. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan Singto belum kembali juga. Krist tidak akan secemas ini jika tadi sekitar jam 10 Singto tidak mengabari Sea akan segera pulang. 2 jam berlalu. Krist tahu tidak mungkin memakan waktu lama, apalagi ini sudah malam hari. Tidak mungkin ada kemacetan di jalan.

Kaki Krist bergerak gelisah. Beruntung Sea sudah terlelap di kamarnya. Apakah Krist harus menghubungi Singto? Tapi apa yang harus ia katakan? Dirinya begitu cemas? Atau di mana kau Singto?

Suara langkah kaki dan pintu yang dibuka menghentikan perdebatan batin Krist. Singto muncul dengan penampilan yang berantakan. Jas digantung di pundak, kemeja yang sudah kusut sana sini dan lengannya di gulung sampai siku, lalu jangan lupakan dasi yang sudah tidak terpasang dengan sempurna.

Krist serta merta berdiri namun Singto memberi tanda padanya untuk tetap di tempat. Singto menghampiri Krist hingga ke hadapannya. Singto langsung merosot ke sofa lalu ditariknya lengan Krist dengan pelan, menginginkan Krist untuk duduk di sampingnya. Dengan hati-hati, Singto berbaring dengan menjadikan kepala Krist sebagai bantal. Singto perlahan memejamkan mata, oh.. mengapa ini bisa begitu damai?

Dengan mengandalkan naluri, tangan Krist bergerak. Mengusap halus rambut Singto. Mencoba memberikan ketenangan yang lebih. Kepala singto bergerak, semakin mendekatkan dirinya pada Krist. Walaupun sekujur tubuh Krist menjadi kaku karena gugup tapi ia tetap berusaha untuk tidak terasa oleh Singto. Diam-diam Krist berdoa, Tuhan.. jika saat ini adalah bagian dari mimpi indah yang kau hadiahkan untukku, aku ingin untuk satu waktu ini saja, aku tidak terjaga dari lelapku.

TBC 

Huwaaaa T_T aku luar biasa baper dan senyum-senyum sendiri nulis bagian ini. Kritik dan saran jangan lupa ya? Terimakasih :) 

cr.pict: Owner.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang