Part 1

5 0 0
                                    


Bentengku mulai runtuh.

Awalnya aku merasa kalau masalah ini rasanya nggak harus diumbar. Siapa sih yang akan dengar? Siapa sih yang bakal tahu solusi masalahnya? Ya, aku arogan karena merasa nggak bakal ada yang mau tahu masalah yang kupendam.

Masalah ingin mati itu harusnya bukan masalah orang lain.

Lagipula, aku selalu merasa bahwa setiap masalah itu bisa dipendam di parit benteng. Cuma tinggal bikin aja paritnya dalam, aliri air dan tuang minyak di atasnya lalu tenggelamkan saja. Mudah. Kalau ada yang mencoba invasi (alias bertanya), tinggal sulut saja minyaknya. Lenyap sudah masalahnya.

Tapi yang namanya bukti selalu tersisa. Yang terpendam bukan berarti nggak akan muncul ke permukaan. Atau lebih lagi, jangan-jangan masalah yang tenggelam sebenarnya sudah membuat terowongan untuk masuk ke dalam benteng melalui cara yang sangat luar biasa.

Ya, luar biasa. Karena keberadaannya mungkin baru diketahui ketika bentengnya sudah berasap. Dan yang diincar pertama adalah menara komunikasi. Menara kemampuan berbahasa dan bersosial dengan baik dan benar. Lalu setelahnya, bendera keraguan mulai ditancap sebagaimana ketidakpercayaan muncul saat memandang rekan, teman, sahabat, bahkan keluarga.

"Siapa peduli?"

"Siapa yang khawatir"

"Aku ini tergantikan!"

"Lebih baik aku nggak ada di dunia ini!"

"AKU ADALAH PARASIT BUMI!"

"LEBIH BAIK AKU TIADA!"

Demi tuhan atau DEMI TUHAN kenapa pikiran ini bisa bercokol? Betapa mudahnya kerontokan benteng hati menjadi sumber segala biang penyakit.

Ingin sekali kubicarakan ini dengan ahli ibadah, ahli agama, atau spiritualis. Tapi aku khawatir... kalau-kalau jawaban mereka adalah kembali ibadah demi menemukan kembali spiritualitas. Apa aku ini punya iman seperti mereka yang bisa memandang indah permasalahan hidup ini? Apa aku bisa menemukan ketenangan seperti mereka yang memejamkan mata dengan khusyuk?

Apa jangan-jangan aku kurang berusaha? Seperti mereka yang selalu mengatakan 'usaha tidak akan pernah mengkhianati'...

Tapi kupikir... kalau usahanya tidak benar, bagaimana bisa mendapat hasil yang bagus?! Apa selama ini usahaku mengarah ke jalan yang salah? Apa doaku agar dituntun ke jalan yang benar sebenarya tidak pernah dijawab? Atau mungkin sengaja aku dituntun agar tubuh ini terbawa arus agar sadar tidak lagi mengulangnya? Entah... entahlah... semakin kupikirkan semakin hilang begitu saja jawaban yang ada. Hidup ini memang sesungguhnya hanya pilihan berganda "Ya dan tidak". Tapi semuanya membutuhkan esai panjang yang mendasari dua pilihan tersebut. Dan aku lelah...

Umur semakin menggerogoti dan benteng ini sudah memperingati. Butuh banyak asupan material luar demi mempertahankan pondasi yang mulai keropos.

Aku mulai mudah marah...

Aku mulai mudah merasa iri...

Aku mulai merasa lelah...

Aku mulai merasa insignifikan...

Aku mulai merasa semua percuma.

Terakhir, Aku tidak percaya manusia...

Ingin kuberkata kalau semua jalan sudah kucoba. Dari yang paling terbodoh... yah... masturbasi saat dalam masalah hanya demi tidur, mencari distraksi dengan kesenangan dunia seperti minum dan kecanduan game, membohongi diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, meyakinkan diri bahwa ini hanya ujian kehidupan, sampai beribadah demi mencari jawaban dari yang maha kuasa... kurasa ini hanyalah hal-hal remeh yang bisa kulakukan sebelum mulai memutuskan hal yang terbodoh.

Aku ngeri mengucapkannya. Jelas itu bukanlah solusi. Jelas bagiku itu pengecut. Tapi saat berada di bawah seperti sekarang ini, bolehkah pilihan itu hadir sebagai sebuah penyelamat? Ah, harusnya kusebut... "pilihan itu datang sebagai bisik terakhir kelemahan manusia yang tidak bisa menjawab lagi..." walau jujur saja, aku yang tidak percaya manusia ini mulai melihat matahari sebagai sebuah lingkaran simpul tambang yang bercahaya. Di baliknya terdapat keindahan... mungkin godaan yang sangat mengkhawatirkan lagi mengguncang buatku. Ah, aku mulai membenci mataku sendiri. Mata yang harusnya disyukuri justru dianggap racun pikiran dan hati.

Tapi saat melihat sekeliling. Benteng yang hampir rubuh ini tidaklah sehancur yang lain. Di kejauhan kutahu ada yang selamat dari gempuran kehidupan bertubi-tubi. Mereka tahu caranya membangun kembali benteng mereka dan berevolusi menjadi begitu megah. Apa aku begitu lemahnya sampai tidak bisa bangun seperti mereka?

Saat menulis ini, berulang kali kudengar lagu Rayuan Pulau Kelapa. Konon kubaca lagu itu dibuat agar prajurit terkenang indahnya bumi pertiwi, indahnya surga, saat sedang berperang demi negeri tercinta. Semoga hasrat dari lagu itu menginvigorasi, bukan menjerumuskan. Aku takut... aku sungguh takut akan konsekuensi keputusan yang sedang digodok oleh maestro di kepala dan badan. Sungguh, masalah hati tidaklah semudah yang terlihat.

Aku tahu, bentengku sekarang sudah rusak. Aku hanya punya dua pilihan... untuk tetap hidup, beradaptasi, dan berkembang atau menekan tombol power untuk merubuhkan segala demi bendera putih.

Saat ini, aku hanya ingin duduk... lalu tidur... lalku istirahat. Biarlah tubuh dan pikiran ini nanti yang akan menentukan. Dan semoga air mata kelak menjadi penyadar di mana kakiku berpijak nanti setelah selesai memilih.    

Benteng Yang Mulai RuntuhWhere stories live. Discover now