[ 2 ] Deal?

24.1K 1.3K 24
                                    

Kinanti memilin jarinya gugup. Keresahan tampak jelas di wajah cantiknya. Ia menunduk tanpa berani menatap sosok menyeramkan di depannya yang tadi ia puji-puji sebagai pria idaman. Ternyata pria ini bahkan lebih menyeramkan dari monster Loch Ness ketika sedang murka.

Hakkinen menatap geram ke perempuan di hadapannya. Tangannya terbalut rapi perban dan kesepuluh jariya yang tadi terbakar sudah diobati. Ia berkacak pinggang di ruangan manager café Green Ocean sambil memandang penuh amarah kepada sosok di hadapannya. Gadis yang menyebabkan masalah beruntun untuknya hari ini.

"Hftt..." si manager menghela napas berat. Menatap ke sosok Kinanti yang masih menunduk dalam.

"Kinanti Anggraini, ini hari pertamamu dan kamu sudah menciptakan masalah sebesar ini. Saya sungguh tidak sanggup berkata-kata lagi. Saya rasa kamu sudah tau keputusan saya tanpa harus saya ucapkan lagi." Si manager membenarkan letak kaca mata yang menaungi sepasang mata tuanya. Wajah paruh bayanya terlihat kecewa, membuat Kinanti makin dilingkupi rasa bersalah.

"Ma.. maafkan saya, Pak. Saya sudah mengerti. Saya akan mengundurkan diri." Kinanti masih setia menatap lantai keramik di ruangan manager itu.

"Tidak bisa begitu saja. Enak saja kamu mau mengundurkan diri saja. Bagaimanapun kamu harus bertanggungjawab. Minimal membayar biaya perawatan saya. Kamu tau, sepasang tangan saya ini sangat berharga. Aset saya untuk mencari nafkah, dan kini kamu sudah melukai tangan saya." Sela Kinen tidak terima.

"Maafkan saya, Pak. Tapi sungguh, bukan saya tidak mau mengganti biaya perawatan Bapak, tapi saya tidak punya uang sebanyak itu." Kinan menunduk semakin dalam.

"Dan kamu nggak punya uang sebanyak itu tapi sanggup melukai tangan orang tanpa mau ganti rugi? Hebat sekali..." Kinen memandang Kinan dengan pandangan merendahkan sambil tertawa sinis.

Amarah Kinanti mulai memuncak mendengar sindiran Kinen. Amarah yang dari tadi ditahan-tahannya setelah melihat Kafka yang berselingkuh tepat di depan matanya, ditambah dengan amarah pada pria ini karena sikap arogansinya yang tidak toleran. Kinanti akhirnya mencapai batasnya. Ia tidak tahan lagi.

"Pak siapapun nama Anda, saya sudah bilang kalau saya tidak punya uang sebanyak itu untuk mengganti rugi, kalau saya punya uang sebanyak itu, saya sudah tidak bekerja sebagai pelayan lagi di café ini! Apa Anda tidak mengerti bahasa Indonesia? Atau perlu saya ulang sekali lagi dalam bahasa Inggris!?" Wajah Kinanti memerah menahan amarah. Ia meledak. Tak ia pedulikan lagi posisinya yang dalam pihak bersalah sekarang. Yang penting, ia dapat melampiaskan kekesalannya. Toh hasilnya tetap sama, dia sama-sama dipecat dari café ini. Jadi apa gunanya bermulut manis pada orang yang tidak punya toleransi sama sekali.

Kinen dan sang manager menatapnya dengan mata membulat sempurna, terkejut dengan sikap Kinanti yang tidak mereka prediksi. Dimana-mana jelas kalau orang yang salah, dalam hal ini Kinanti, saat dimarahi atau ditegur akan menunduk dalam dan tak jarang menangis tersedu-sedu memohon maaf, tapi Kinanti? Dia bahkan berani balas memarahi orang yang memarahinya tanpa rasa segan. Benar-benar kasus luar biasa.

Suara dering ponsel mengejutkan Kinen dari keterpukauannya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana linennya hati-hati agar tidak melukai bekas terbakar di tangannya. Setelah perjuangan mengeluarkan ponselnya, raut wajah Kinen berubah ketika melihat identitas si penelepon yang terpampang di layar ponselnya.

Mario. Editornya yang galak dan super serius. Kinen menelan ludah gugup sebelum memutuskan mengangkat panggilan.

"Halo." Kinen berusaha mengontrol suaranya agar tidak terdengar panik. Sesuatu yang menimbulkan tanda tanya besar di wajah Kinanti dan si manager. Bagaimana mungkin pria yang dari tadi marah-marah dan menatapnya dengan tatapan menghina dan murka sanggup memelankan suaranya hingga seperti cicitan tikus seperti ini? Perubahan sikapnya sangat drastis.

Write Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang