[ 2 ] Deal?

Mulai dari awal
                                    

"Uda lo selesain?" Tembak Mario langsung dari ujung sambungan telepon.

"Err... itu... err... sebenarnya, ada sedikit masalah..." Kinen dapat mendengar jelas dengusan napas berat dari Mario.

"Masalah apa lagi yang lo sebabkan? Bisa nggak, lo nggak menyebabkan masalah dan menyuruh gue untuk membereskannya sehari saja." Suara Mario terdengar dingin dan datar. Menambah kegugupan Kinen di ujung sambungan yang sama. Sahabat sekaligus editornya ini memang selalu bernada seperti itu ketika ia sedang marah. Dan Kinen selalu ciut padanya, mungkin karena rasa hutang budinya yang begitu besar pada Mario, mengingat Mario yang selalu menolongnya kapanpun dia butuh, dari masa sekolah dasar hingga usia keduanya genap dua puluh lima tahun sekarang. Bahkan keluarganya sendiri saja tidak selalu ada untuknya seperti Mario. Itulah sebabnya seorang Mario sangat berpengaruh untuknya.

"Sorry." Ucapnya pelan.

"Ada masalah apa lagi?" Mario menghela napas berat.

"Begini, draft setengah jadi yang tersimpan di laptop gue hilang nggak bersisa akibat keteledoran seorang pelayan café. Semua data gue plus laptop gue positif rusak. Bukan hanya itu aja, dia bahkan uda ngelukain tangan gue hingga melepuh dengan menyiramnya dengan cairan kopi panas. Dan sekarang, gue mungkin nggak bisa menulis sementara." Kinen memandang tajam pada Kinanti yang masih menatap nyalang padanya.

Walau hati Kinanti dipenuhi rasa bersalah karena sudah mencelakai Kinen, tapi rasa bersalah itu hilang terbawa ke awang-awang begitu ia menerima sikap Kinen yang tidak toleran pada kondisinya. Ia pasti mau bertanggungjawab, asal dengan cara lain selain yang berkaitan dengan uang.

"Gue nggak peduli. Lo dijadwalkan udah harus nyelesaiin bab itu dalam minggu ini. Sisa waktu deadline lo buat bab itu hanya tiga hari ke depan."

"Ta.. tapi gimana mungkin gue bisa menyelesaikannya kalau buat gerakkin jari untuk mengetik aja gue nggak sanggup sekarang." Kinen menatap miris pada jari-jarinya yang terbungkus perban.

"Gunakan otak lo. Kalau lo nggak bisa ngetik, gunakan tangan orang lain untuk mengetikkannya buat lo."

"Maksud lo? Lo bakal ngetik buat gue?" Tanya Kinen dengan nada polos.

"Gila aja gue ngetikkin buat lo. Sorry bro, gue tuh orang sibuk. Jadi editor lo plus mimpin perusahaan. Nggak kaya lo yang cuma nulis dan mantau perusahaan bokap lo dari rumah."

"Terus, siapa dong yang ngetikkin buat gue?"

"Uda gue bilang, gunain otak cerdas lo, Hakkinen Prawira. Cari aja pelayan yang ngelukain tangan lo, gue yakin dia pasti dipecat kan setelah insiden itu. Dia pasti nggak punya pekerjaan sekarang. Pakai kesempatan itu dan buat kesepakatan sama dia, buat penawaran, anggap aja sebagai ganti rugi perbuatannya, lo pekerjain dia."

"Ide bagus tuh. Emang otak lo paling cerdas, Mar."

"Karena otak gue, gue pake. Nggak kaya lo yang cuma cerdas ngerangkai kata."

"Sialan lo. Oke, lo tunggu draft dari gue dua hari lagi." Kinen mengakhiri panggilan dan menatap penuh arti ke arah  Kinanti. Hal yang membunyikan alarm waspada pada otak gadis itu. Kinanti mencium sebuah rencana di balik tatapan pria itu.

"Pak, boleh saya berbicara empat mata dengan nona ini?" Kinen mengalihkan pandang, meminta ijin pada eks-manager Kinanti, atau lebih tepatnya mengusir secara halus si pria paruh baya dari ruangannya sebentar.

Si manager mengangguk dan meninggalkan kedua orang itu di ruangannya. Hening melingkupi sejenak, sebelum Kinen berdeham dan memecah keheningan dengan membuka suara.

"Aku punya penawaran untukmu." Alis Kinanti terangkat sebelah, menatap prua di hadapannya dengan tatapan meminta penjabaran lebih lanjut.

"Begini, karena Anda, Nona..?" Kinen mengaktifkan formal business modenya.

"Kinanti." Jawab Kinanti singkat.

"Ya, Nona Kinanti, telah melukai tangan saya sementara saya punya deadline menulis yang harus saya kejar karena editor galak saya sudah menagih bak seorang penagih hutang, saya punya sebuah kesepakatan."

"Kesepakatan apa?" Kinanti menatap Kinen dengan tatapan bosan. Apa yang mungkin dapat ia sepakati dengan pria di hadapannya ini? Mereka punya hidup yang berbeda dan mungkin tidak akan saling bertubrukan tanpa insiden di café tadi.

"Aku membutuhkan sepasang tangan untuk mengetik naskah novelku sekarang. Dan, karena kamu tidak sang... maksudku tidak mampu mengganti secara materi." Kinen mengoreksi kata 'sanggup' yang akan ia ucapkan sambil menatap gadis di hadapannya hati-hati. Takut akan membangkitkan monster yang berdiam dalam diri gadis itu lagi seperti tadi.

"Aku mengusulkan sebuah win-win solution untuk kita berdua." Kinen melanjutkan dengan senyum bangga. Seakan-akan ide brilian yang akan ia ajukan adalah ide yang keluar dari pemikirannya sendiri, bukan pemikiran Mario, sahabatnya.

"Apa itu?" Kinanti terlihat mulai tertarik.

"Aku menawarkan sebuah pekerjaan untukmu berhubung kamu sudah dipecat dari café ini. Pekerjaan menjadi pengganti jari-jariku untuk mengetik naskah novelku. Jangan khawatir, aku akan membayar upah yang sesuai."

"Berapa kamu sanggup membayarku?" Tembak Kinanti langsung. Setelah ia pikir-pikir, tawaran Kinen tidaklah buruk, kalau upah yang ia janjikan sesuai. Bagaimanapun, walaupun Kinanti ingin menebus kesalahannya ia juga tetap harus memikirkan tentang nafkah untuk hidupnya dan adiknya bukan? Kalau ia membantu pria ini menyelesaikan novelnya berarti ia tidak dapat bekerja bukan? Lantas, bagaimana ia bisa menghasilkan uang untuk menyambung hidup?

"Tiga juta per minggu, apakah cukup?" Mata Kinanti langsung berbinar dengan rupiah, mendengar kata-kata Kinen. Tapi tunggu, otak ekonom Kinanti berputar cepat.

"Tapi bagaimana kalau novelmu kukerjakan tak sampai seminggu? Lalu bagaimana kalau novelmu sudah selesai? Maka tak akan ada lagi pekerjaan untukku, atau ketika tanganmu sudah sembuh." Segala kemungkinan dan probabilitas berkelebatan di otak Kinanti.

"Kamu cukup jeli untuk mempertimbangkan segala macam risiko bukan? Begini, bagaimana kalau kamu kuijinkan untuk mencari pekerjaan lain selagi kamu bekerja denganku. Dan sampai saat kamu belum menemukan yang sesuai, aku akan terus mempekerjakanmu." Otak Kinen berpikir cepat.

Kinanti mempertimbangkan dengan seksama. Jika ia menerima tawaran ini positifnya adalah dia bisa mengganti kerugian atas insiden yang ia timbulkan. Dan yang paling penting adalah, dia bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar jika ia menerima tawaran Kinen. Dia juga tidak perlu repot mencari pekerjaan sementara. Dan negatifnya adalah dia akan terus bertemu pria ini, selain menyebalkan hal yang membuat Kinanti enggan bertemu dengannya adalah karena dapat membuat jantungnya bekerja dengan sangat cepat setiap kali berdekatan dengannya. Campuran rasa kesal dan terpesona. Bagaimanapun makhluk di depannya ini sangat menarik, terlalu menarik bahkan, jika Kinanti mengabaikan sikap buruknya.

"Bagaimana keputusanmu?" Tanya Kinen mematikan memastikan. Sejujurnya, ia khawatir kalau Kinanti tidak mau menerima tawarannya, bagaimanapun, waktunya hanya tinggal tiga hari untuk memulai kembali mengetik naskahnya dari awal. Mau dari mana ia mencari sukarelawan yang bersedia?

"Baik, aku bersedia." Jawab Kinanti setelah berdiam beberapa saat, larut dalam perdebatan alot di dalam kepalanya sendiri.

"Deal?" Kinen mengulurkan tangan kanannya untuk dijabat Kinanti, sebagai simbol kesepakatan keduanya.

"Deal."

And the games begin now...

~o0o~

Hi... how's this part? Hope this isn't dissappointing ^^

And, I bet you've found out the member of Geovanni family that I mean on 27 to 20 ^^
Yep, dia adalah anak bungsunya Maureen-Azkanio = Mario Stevan Geovanni

I forgot to tell you, the picture from the previous part is Hakkinen Prawira a.k.a. Kinen.
Dan, di part ini ada pic nya Kinanti Anggraini, diliat yah :3
Makasih yang uda baca, saya tau cerita ini masih banyak kurangnya, tapi saya kan masih tahap belajar ^^
Jadi, bantu proses belajar saya dengan kasih tanggapan atas cerita ini yah.. thanks before ^^

Write Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang