"Aku akan membuat surat pemecatan untuk kalian," ujarku memberi jalan keluar. "Atau mungkin kalian bisa mengundurkan diri. Jika ditanya, katakan bahwa aku tuan putri yang arogan dan tidak tahu diri, dan kalian sudah tidak sanggup bekerja untukku lagi."

"Apa putra mahkota akan percaya begitu saja?"

"Aku akan berbicara dengannya."

Velian langsung melengos ke arahku. "Kau yakin?"

Aku menatapnya penuh tanya. "Aku akan berusaha."

Ia tak menjawab namun tatapannya terlihat tak suka dan hatiku menjadi semakin risau seketika. Apa dia marah padaku?

Seusai makan siang aku kembali pada hukuman yang mulai membuatku jenuh setengah mati. Aroma kertas menyeruak dan membangkitkan kebosananku akan kegiatan yang sama namun melelahkan. Pikiranku berpacu seiring tulisanku yang memenuhi baris.

Aku menatap selembar kertas berukuran lebih kecil kemudian melirik ke arah amplop yang ujungnya mencuat dari laci. Aku menghentikan aktifitasku sejenak dan segera menulisa surat untuk bibi Athea. Ini adalah surat yang kesekian kalinya kutulis untuknya, menanyakan kabar dan mengetahui keadaanya. Ada kalanya ia mencurahkan keluh kesahnya padaku jika sesuatu sedang terjadi, atau bahkan membicarakan Erick dan menceritakan bagian-bagian dari masa kanak-kanaknya yang katanya belum pernah ada yang tahu selain dirinya selaku pengasuhnya.

Meskipun kadang aku suka tertawa ketika mendengar ceritanya melalui tulisan, tapi tetap saja, Erick saat ini menjelma sebagai pemuda yang kejam dan sulit dimengerti. Terkadang memang terlihat lembut tapi juga terkadang mengerikan jika sifat bengisnya kambuh. Dan sekarang, aku masih belum tahu bagaimana cara menghadapinya selain hanya waspada akan tindakannnya.

Aku segera melipat kertas yang baru saja selesai kutulis dan menarik secarik amplop lalu memasukannya. Tak lupa juga menulis nama bibi Athea di depan amplop selaku penerimanya.

"Tuan Ricky," panggilku pada Velian sambil membuka pintu.

"Iya yang mulia," sahutnya siaga.

"Tolong antarkan surat ini untuk bibi Athea."

"Baiklah."

"Terimakasih." Aku mengangguk dan tersenyum.

"Valen bisa kemari sebentar?" ujarnya saat menjauh dari kamarku sedikit dan nadanya terdengar serius.

Aku mendekat sesuai permintaannya. Betapa terkejutnya ketika ia menarik tanganku dan membenturkan punggungku ke dinding sambil menatapku dingin.

"Tidak ada tempat lain yang diawasi selain kamarmu dan celah-celah jendela bukan?"

Alisku terangkat sebelah. "Lalu?"

"Valen jawab aku." Tatapan dinginnya berubah sendu. "Apa kau—mulai tertarik menjadi seorang putri?"

Keningku berkerut menangggapi pertanyaannya dengan serius. "Tidak terbesit sedikitpun keinginan menjadi seorang putri di istana. Aku hanya menjalankan tugas sesuai dengan kesepakatan dan—"

"Apa kau mulai tertarik?" Nadanya mulai tegas untuk memotong ucapanku.

"Tentu saja tidak," jawabku melemah sambil menatapnya lekat. "Apa—ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Valen perlukah aku mengingatkanmu bahwa kau adalah milikku? Akhir-akhir ini kau membuatku kesal." Wajah dinginnya semakin mendekat lalu berbisik. "Katakan padaku, ciuman panas seperti apa yang kau inginkan?"

Tubuhku mematung seketika dengan wajah memanas dan tak tahu apakah detik itu jantungku masih berdetak atau tidak. Pikiranku terasa berhenti sejenak tapi yang pasti wajahku pasti memerah dengan rona yang memalukan.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang