"Kak Damar mancing saya?" Anza menatap Damar tidak mengerti. "Saya bukan ikan, kenapa harus dipancing?"
Damar benar-benar pusing menanggapi Anza. Ia menatap Anza, berharap mendapati ada ekspresi kepura-puraan di wajah adik kelasnya itu. Tapi tidak ada. Raut nyaris datar itu membuat Damar kesal. Anza itu sebenarnya memang tidak mengerti atau hanya pura-pura tidak mengerti? "Gue mancing biar lo cemburu!" Damar akhirnya mengungkapkannya. "Lo pikir ngapain gue ajak Elbi nonton kalau gue sendiri punya pacar, heh?"
Anza mengangkat kedua bahunya. "Saya lupa kalau Kak Damar punya pacar."
Mulut Damar menganga tidak percaya. Ia lantas menggeleng pelan. "Jadi, lo nggak cemburu?"
Anza tidak terlihat menggeleng. "Saya nggak punya hak untuk cemburu."
"Tapi, lo kelihatan nggak senang waktu gue ngajak Elbi nonton," Damar berusaha memojokkan Anza.
"Saya nggak senang, karena nggak mau dijadikan tumbal untuk menghadapi Om Bian," Anza menjelaskan. "Saya malas mendengar Om Bian mengomel," ungkap Anza sambil cemberut.
"Om Bian?" Damar mengingat-ngingat. "Bokap Elbi?"
Anza mengangguk. "Dia suka marah-marah, apalagi kalau melihat saya."
Damar tertawa mendengar cerita Anza soal Papa Elbi. "Tapi, lo selalu berhasil boncengin Elbi setiap hari."
"Karena Kakak Reka yang minta dan saya—" Anza menggantung kalimatnya.
"Saya?"
"—saya anak salah satu karyawan Om Bian," lanjut Anza.
Damar mengangguk mengerti. "Pasti Bokapnya Elbi ngerasa aman, karena Bokap lo jaminannya."
"Gue benar-benar nggak memahami hubungan kalian kalau begini caranya," Damar menggelengkan kepalanya. Ia menepuk bahu Anza sebelum berjalan melewati pemuda itu.
"Kak Damar," sebelum Damar benar-benar meninggalakannya, Anza memanggil kakak kelasnya itu. "Jangan pernah lakukan itu lagi. Meski bercanda sekali pun, jangan lakukan," ucap Anza sambil menatap lurus Damar.
"Hah?" Damar kembali terperangah, tidak mengerti.
"Kak Damar sudah punya pacar," lanjut Anza tanpa mau mempedulikan kebingungan Damar. "Bercandanya sama pacar Kak Damar saja."
Damar mengerjap, mulai menyadari maksud Anza. Pemuda itu terkekeh untuk kesekian kalinya. "Oke ... oke."
Anza menghela napas, memperhatikan punggung Damar yang mulai menjauh. Ketika berbalik, Anza terperanjat hingga mundur selangkah. Matanya melebar, "Anjani."
Anjani tidak bereaksi. Hanya menatap Anza. Tatapan yang sama sekali tidak bersahabat.
O0O
Entah sejak kapan Anjani memperhatikannya. Obrolan Anza dan Damar tampak menarik di matanya, dibandingkan pertandingan basket yang sedang berlangsung. Padahal saat ini kelasnya lah yang sedang bertanding. Namun, Anjani tidak peduli. Karena ia sangat tidak menyukai bagaimana para pemuda yang sok memamerkan kepiawaiannya memainkan bola di hadapan para gadis yang menjerit heboh bahkan ketika bola basket itu tidak memasuki ring sekali pun.
"Jani," Najwa—teman sekelasnya mencolek bahu Anjani. "Bisa ambilkan jatah minum kelas kita di sana?" Najwa menunjuk ke arah kardus air mineral yang berada di dekat Anza dan Damar.
"Bisa," jawab Anjani.
Ia baru akan melangkahkan kaki ketika melihat Nico—teman sekelasnya yang lain berdiri. Nico memang tidak ikut bermain basket, hanya duduk di pinggir lapangan sejak tadi karena memang hanya pemain cadangan. "Gue bantu," tawar Nico sambil memamerkan senyum lebarnya.
YOU ARE READING
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?
Twenty
Start from the beginning
