"Kok gue nggak merasa begitu," komentar Luna tidak setuju.
Elbi tidak menanggapi komentar Luna dan kembali menjelaskan. "Kedua, gue udah dapat ultimatum soal pacaran dari Papa akibat pacaran sama Erlang. Jadi, saat ini gue mau fokus buat sekolah dulu."
"Lo serius, Bi?" Raya terperangah mendengar alasan tersebut. "Gue sama Luna paling tahu lo itu nggak betah belajar."
"Siapa yang bilang gue fokus belajar?" Elbi mengernyit. "Gue fokus sekolah!"
"Sekolah tanpa belajar mana ada, maliih!" Raya menyahut cukup keras di depan muka Elbi sampai gadis itu memundurkan kepalanya.
"Ketiga ...." Elbi mendesah pelan. "Gue terlalu malu untuk bilang suka sama dia."
Luna menggelengkan kepalanya sambil menepuk bahu Elbi. "Selamat datang dan bergabung di fans club Anza. Lo bagian dari kami sekarang."
Kedua mata Elbi melebar. "Anza punya fans club?" tanyanya.
Raya mengangguk. "Anggotanya Luna, gue, dan sekarang lo!" Ia bertepuk tangan penuh suka cita. "Lo mau jadi ketua club, Bi?"
"Kalian gila!" desis Elbi tidak percaya.
Luna mengangkat bahunya. "Gue nggak yakin kalau lo nggak bakal lebih gila dari kami," ujarnya sambil menyeringai hingga Elbi bergidik ngeri.
Elbi menyesal. Seharusnya Elbi tidak menceritakan soal perasaannya ini pada Luna dan Raya. Mereka gila!
O0O
Anza cukup sibuk dengan kegiatan class meeting. Menjadi bagian dari seksi perlengkapan, membuatnya tidak mempunyai waktu untuk istirahat. Setiap pergantian pertandingan basket antar kelas, Anza harus siap untuk mengecek perlengkapan yang ada. Bukan hanya itu, dia harus menjadi tukang angkut seksi konsumsi yang rata-rata anggotanya adalah perempuan.
"Jadi, malam minggu kemarin lo jadi nonton sama Elbi?"
Anza cukup terkejut dengan suara Damar di balik punggungnya. Kakak kelasnya tersebut sedang membawa satu dus air mineral gelas dan diletakkan di sebelah dus yang baru saja Anza bawa. "Gimana kencannya?"
Anza mengerjap, memandangi Damar takjub. Bagaimana Damar tahu kalau Anza dan Elbi nonton malam Minggu yang lalu? "Bagaimana gue tahu?" Damar seolah mampu membaca pikiran Anza.
Damar terkekeh pelan. "Gue hanya menebak sebenarnya," ungkapnya. "Tapi melihat reaksi lo, kelihatanya tebakan gue benar."
Anza berdeham, mengalihkan pandangannya. "Kami memang nonton. Tapi, itu bukan kencan."
Kekehan Damar terdengar makin keras. "Kalian nonton berdua," ucap Damar dengan binar jenaka di kedua matanya. "Nonton berdua itu namanya kencan, Za!"
"Kami nggak nonton berdua," jelas Anza membuat Damar mengernyit. "Kami nonton bertiga. Sama Binno."
"Siapa Binno?" tanya Damar.
"Adik Kakak Elbi."
Damar tidak tahu sejak kapan mulutnya sudah terbuka. Mungkin sejak Anza menyebut nama Binno. "Ngapain lo nonton bertiga?!" Itu bukan pertanyaan. Lebih seperti bentuk protes, karena Damar mengatakannya dengan suara lebih keras.
"Lo bego atau apa sih?!" Damar masih belum mau menurunkan nada suaranya.
"Saya nggak bego," Anza malah menimpali. "Peringkat saya selalu di atas kalau Kak Damar mau tahu."
"Gue nggak mau tahu!" Damar menengadahkan kepala. Menarik napas untuk mengatur emosinya. "Sumpah, ya lo Za!" Dada Damar terlihat kembang kempis. "Percuma gue mancing lo kalau tahu hasilnya bakal begini!"
YOU ARE READING
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?
Twenty
Start from the beginning
