NEVER

1 0 0
                                    

NOTE : this is my another old story I ever wrote. di post biar ga kosong aja hahaha


--------------------------



Hara meringis memegangi keningnya. Kepalanya mendadak pusing dan lidahnya perih karena tidak sengaja tergigit giginya sendiri. Ia menyesal karena berjalan tanpa berhenti bercerita dan mengabaikan keadaan sekitar. Kalau saja tubuhnya tidak terlalu mungil dan mulutnya tidak cerewet.Ia kesal setengah mati sekarang. Mendelik pada punggung di depannya yang berdiri kaku. Seperti tidak menyadari kesalahannya. Sumber dari penderitaan mendadaknya. Tangannya tanpa sadar melayang. Kebagian punggung yang tadi ia tabrak dengan keningnya.

TTAKK

Hening. Hara seharusnya puas dengan bunyi itu. Ia seharusnya sedang berlari atau mungkin mendebat orang ini. Tanda kalau telapak tangannya sukses mendarat dipunggung sahabatnya. Sebaliknya, keningnya yang tadi menabrak punggung itu berkerut. Reaksi pemilik punggung mirip seperti tembok. Tidak bergerak. Tidak juga bergeser. Padahal ia yakin pukulan tadi lebih dari cukup untuk membuat gadis didepannya melakukan serangan balasan.

"Aerin, kau kenapa?" Tidak ada jawaban. Guncangan pada bahunya hanya membuatnya bergoyang sedikit. Sepertinya Hara memang menabrak tembok tadi.

Baru ketika matanya menatap kedepan seperti arah pandang Aerin, ia mengerti apa yang menyebabkan seluruh tubuh sahabatnya menegang. Hara juga memandangnya, sosok tinggi berkulit kecoklatan yang berjalan kearah mereka dengan senyum lebar tanpa dosa. Menampakkan barisan giginya yang rapih. Mata Aerin terpaku pada sosok itu. Terpesona, mungkin. Sementara Hara menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung yang ia tutupi dengan tampang datar –tidak peduli- miliknya.

Dia masih berjalan. Tepat kearah mereka. Masih dengan senyum. Senyum yang menunjukkan ia tidak melihat tatapan tidak biasa Aerin. Tatapan yang biasa kau tujukan hanya pada orang tertentu yang berhasil menyimpan nama dihatinya.

"Hai, Ai," Aerin tersenyum kaku. Otaknya terlalu sibuk mengatur detak jantungnya hingga tidak bisa memproses senyum yang akan terpasang di bibirnya.

"Kau baru mau kekantin? Belum makan?" lagi, dengan senyuman mautnya. Membuat sistem tubuh Aerin serasa error. Untunglah kepalanya masih bisa digunakan untuk menggeleng meskipun perlahan.

"Astaga,Ai, kau lucu sekali," dia terkekeh dihadapan Aerin. Tinggi Aerin yang hanya sebatas dadanya mempermudah tangannya dengan santai mengacak puncak kepala Aerin. Dan dia berhasil. Pipi Aerin memerah. Aliran darah Aerin sepertinya berpusat dipipinya. Jantungnya juga semakin kacau didalam sana.

"Makan yang banyak, Ai," setelahnya dia berlalu dengan bola basket ditangannya. Benar-benar pergi meninggalkan kedua gadis yang terdiam dengan pikiran melayang setelah sekali lagi mengacak puncak kepala Aerin ditambah cubitan di pipin Aerin yang merona.

=====

"Kau pacaran dengan Jongin ?"

"Demi Tuhan, sudah ku katakan berkali-kali. Aku tidak berpacaran dengannya, Hara,"

"Lalu kenapa Jongin bersikap seperti itu?"

"Kau tanya saja padanya,"

"Song Aerin, aku serius,"

"Kau pikir aku bercanda? Aku juga bingung, Hara. Aku.Tidak.Tahu."

Keduanya menghembuskan nafas lelah dari mulut mereka dan menghempaskan punggung mereka ke sandaran kursi. Pertanyaan yang sama selama sepuluh menit yang juga dijawab dengan jawaban yang sama. Yang berbeda hanya ekspresi dan nada bicara mereka. Awalnya mereka tenang, kemudian mulai bicara dengan urat yang menegang dan nada frustasi. Mereka memilih berhenti daripada harus membuat seisi kantin mendengar percakapan tanpa arah mereka.

NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang