[23/06] Kelas Memasak Donghyuck

279 58 11
                                    

Tema mingguan: simplicity

Tema harian: acceptance


*


Donghyuck membuka kelas memasak untuk pemula. Muridnya cuma satu; itu pun mendaftar bukan karena dia mau, tapi karena paksaan Donghyuck. "Pokoknya harus mau!" begitu katanya saat menyodorkan selembar kertas folio garis yang ia sebut formulir pendaftaran kepada si calon murid. "Isi pakai huruf balok, tulisanmu nggak kebaca kalau besar-kecil kayak biasa," wantinya. "Nah, nanti kalau sudah, tanda tangan di sini, harus kena materai," petuahnya sambil menunjuk bagian bawah formulir yang sudah ditempeli materai tiga ribu.

"Hyuck?" si calon murid mengernyit bingung mendapati materai pada formulir itu.

"Hm?"

"Apa ini nggak terlalu berlebihan? Pakai materai segala kayak mau beli rumah."

"Biar kamu nggak kabur," jawab Donghyuck mantap. "Sudah baca poin C?"

Si calon murid kembali mengernyit. Dibacanya pelan-pelan bagian formulir yang dimaksud oleh Donghyuck. "Saya—Mark Lee—yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa saya bersedia mengikuti Kelas Memasak Donghyuck sampai selesai. Apabila saya mangkir, saya bersedia dikenai sanksi berupa denda uang tunai sebesar seratus ribu won untuk tiap satu sesi belajar yang saya tinggalkan dengan alasan apa pun. Jika saya tidak sanggup membayar denda uang tunai, maka saya bersedia dikenai sanksi pengganti berupa kesanggupan membersihkan kamar Donghyuck setiap hari selama satu minggu atau tujuh hari untuk tiap satu sesi belajar yang saya tinggalkan dengan alasan apa pun."

Donghyuck menganggut-anggut khidmat. Senyum puas merekah di bibir tebalnya. "Bagus, bagus."

"Nggak bagus! Kayak teken kontrak sama iblis saja," cibir Mark. "Bikin kontrak sama iblis masih mending dapat kaya atau tenar, nah ini, aku dapat apa?"

"Dapat cinta," kelakar Donghyuck. Wajahnya didekatkan ke wajah Mark agar dia dapat mencuri kecupan di pipi tirus calon muridnya. "Dapat transferan skill memasak langsung dari ahlinya biar kamu nggak buta dapur, okay?"

"Nggak okay!" sanggah Mark.

"Okay! Nanti kalau ada apa-apa, kamu nggak bisa survive, mau?"

"Donghyuck omongannya!" desis Mark.

Donghyuck tidak menanggapi keberatan Mark. Malah, dia menuntun tangan Mark yang memegang pulpen kembali ke atas baris-baris kalimat yang tertoreh dalam formulir laknat itu. "Ayo, cepat isi!"

Mark, si budak cinta profesional, tidak bisa tidak menurut.

*

Kelas pertama Donghyuck diadakan pada Selasa sore di dapur rumahnya. Materi yang akan disampaikan kali ini adalah dasar-dasar menggoreng telur. Donghyuck sudah menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, yakni satu krat telur dan satu plastik minyak goreng. Semua bahan itu dia beli pakai uang sendiri karena kelas memasak yang didirikannya adalah lembaga nirlaba yang semata-mata bertujuan untuk membantu kaum buta dapur agar—setidaknya—bisa memasak buat dimakan sendiri.

Seharusnya, kelas dimulai tepat pukul empat. Namun, sampai sepuluh menit terlewat, satu-satunya murid Donghyuck itu belum kelihatan batang hidungnya.

Sebentar kemudian, muncul sosok Mark yang berlari seperti orang kesetanan menuju rumah Donghyuck. Sampai depan pagar, ia disambut dengan wajah kesal Donghyuck.

"Ma—af, aku ke—tiduran," ujar Mark penuh sesal sambil terengah.

"Karena baru pertama, nggak apa-apa, deh, aku maafkan," kata Donghyuck galak. "Tapi, kalau kamu telat lagi, kena denda lima ribu won tiap satu menit."

"Lho, kan nggak ada di perjanjian?" protes Mark, mukanya mendadak pucat.

"Ya, nanti tinggal aku tambahin isi perjanjiannya," balas Donghyuck santai.

*

Sudah hampir malam. Sudah lebih dari setengah krat telur dihabiskan. Tapi, Mark belum kunjung bisa menggoreng telur dengan benar. Gantian muka Donghyuck yang pucat. Perkiraannya, kelas hari ini menghabiskan paling banyak lima butir telur sehingga sisanya bisa Donghyuck pakai untuk bikin kue akhir pekan nanti.

"M—Mark," cicit Donghyuck.

"Hm?" Mark menanggapi sedapatnya karena tengah berkonsentrasi penuh pada telur mata sapi yang lengket di wajan.

"Kayaknya kamu benar," Donghyuck berkata lirih, "kayaknya kelas memasak ini terlalu berlebihan."

Mark mematikan kompor, lalu memindahkan telur mata sapi yang bentuknya hancur ke piring saji yang telah terisi dengan selusin telur mata sapi lain yang sama tidak layak makannya. "Maksudmu?"

"Kamu betulan nggak boleh pegang dapur." Donghyuck terlihat sedih—lebih karena telur-telur yang mubadzir ketimbang kemampuan memasak Mark yang nol besar.

"Jangan sedih?" ucap Mark ragu-ragu. "Sekali lagi, ya? Yang ini serius."

Donghyuck hendak mencegah, tapi melihat kedua bola mata Mark berbinar penuh tekad, ia urung.

*

"Wah, ternyata simpel!" seru Mark senang melihat hasil masakannya kali ini cukup layak makan. Tampilan telur mata sapinya lumayan cantik; bundar dengan kuning telur utuh di tengah layaknya telur yang sengaja digoreng dengan gaya sunny side up. "Bagaimana, Hyuck?"

Donghyuck tidak segera menjawab. Matanya berkaca-kaca; setengah terharu, setengah tidak bisa percaya. Sambil menyalami Mark, Donghyuck berkata, "sukses!"

"Makasih."

"Mau coba! Suapi aku, Mark!" rengek Donghyuck.

Mark segera mengambil sendok dan memotong telur mata sapi itu agar pas dimakan sekali caplok. "Aaaa!"

Donghyuck menerima suapan Mark. Dikunyahnya pelan-pelan sambil dirasai benar-benar telur mata sapi di dalam rongga mulutnya. "Enak!" Donghyuck mengacungkan dua jempol. "Selasa depan kelas lagi, ya?"

Mark pura-pura tidak dengar.

[MarkHyuck] Amorf: Koleksi Kisah Delapan Mingguحيث تعيش القصص. اكتشف الآن