Mendengar cerita itu. Luna menangis perih.

"Kenapa tidak kembali? Kenapa memilih tinggal dinegara asing bagi dirimu sendiri? Apa sebegitu tidak berartinya aku dihidupmu?"

"Aku takut menjadi beban untuk hidupmu, lihatlah. Aku tak bisa apa-apa selain kedua tanganku yang masih bisa melukis. Mataku yang masih bisa melihat walaupun hanya terisi wajahmu. Aku terpaksa menikam diriku agar kamu tak kembali kepada lelaki tak berguna sepertiku, lelaki ini yang membawamu mengkhianati persahabat kita. Akuu." Pekik Orion.

Orion melihat perempuan itu menangis. Lebih menyakitinya ketimbang segala kejadian yang menyakiti raganya.

"Kenapa masih berpikir begitu? Bukankah saat aku bersedia menerimamu. Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Saat setelah kepergianmu, kehidupanku menjadi pelik saat ternyata aku mengandung buah cinta kita." Lirih Luna akhirnya bersuara.

Orion kembali senyap setelah tadi menggebu-gebu berbicara.

"Aku hanya seorang diri ditanah perantauan tanpa ada dirimu lagi. Tetap bertahan menunggumu di sini. Tapi hanya berselang hari aku melihat kabar kecelakaan kapalmu ditelevisi. Remuk hatiku saat itu. Akhirnya memutuskan kembali kepada orang tuaku. Mereka menerimaku tapi perlakuannya berbeda."

"Tak habis pikir dengan otakmu itu. Meninggalkan lelaki yang jelas bertanggung jawab dan memilih lelaki yang menikahimu lalu mati."

"Ucapan mereka saat itu sungguh sangat menyakitiku. Aku pun memutuskan pergi ke rumah orang tuamu. Tapi mereka sangat terpukul karena kehilanganmu dan namamu ada dideretan korban yang hilang dan tak mungkin selamat."

"Tak cukup menambah beban duka keluarga kami. Entah apa yang merasuki pikiran putraku sehingga mau menikahi perempuan pembawa sial sepertimu. Lebih baik hidup dengan Ningsih tapi tidak memiliki anak tapi bersamamu malah kehilangan nyawanya sendiri."

"Saat itu, aku tak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin ini ganjaran karena menyakiti orang-orang baik seperti halnya Surya dan Ningsih." Luna terisak.

Orion tak percaya hal seperti itu yang menghampiri Luna saat setelah kepergiannya.

"Lalu, aku memutuskan sebuah cara tak manusiawi. Aku kembali lagi pada Surya yang kuyakini masih mencintaiku walaupun sudah menikah dengan Mentari."

Air wajah Orion berubah saat mendengar kelanjutan kisah Luna.

"Aku dan anak dalam perutku butuh hidup. Maka aku buat drama seolah aku mengandung anak Surya. Aku melakukan kebohongan itu. Hanya untuk bertahan hidup." Luna menangis terisak-isak.

"Surya menyokong hidupku sampai bayi kita lahir yang masih tidak tahu apapun perihal kita. Tapi aku melupakan bahwa aku menambah deretan orang-orang yang aku sakiti yakni Mentari dan putranya." Luna menangis tak henti-hetinya.

Tangan Orion terulur menggenggam tangan Luna. Andai bisa mengulang waktu dan tahu keadaannya akan seperti ini. Dulu, mungkin dia akan memutuskan kembali.

Tidak peduli bagaimana pun kehidupan mareka nanti yang penting mereka bisa hidup bersama-sama.

"Maaf. Maafkan aku." Ujar Orion.

Akhirnya mereka saling memeluk. Melepaskan segala gundah dalam hati mereka.

"Saat itu pun aku kembali pergi. Tanpa memberikan penjelasan lebih jauh kepada Surya. Aku mengurus putri kita sambil bekerja. Hampir Bintang meninggal karena meminum pembersih lantai saat aku bekerja jadi pembantu rumah tangga dengan membawanya yang masih bayi. Menjadi pelik, saat aku tak mampu membayar pengasuh dan harus membutuhi kebutuhan kita." Cerita Luna lagi.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang