Wejangan Mama

Beginne am Anfang
                                    

Akan tetapi, bukan itu yang paling kuingat soal pertemuan pertama Alva dan Mama. Yah, meskipun secara keseluruhan aku mengingat apa-apa saja yang terjadi hari itu. Tapi, yang paling berkesan untukku adalah ketika Mama mengajak kami berdua mengobrol ditemani suara televisi yang hanya menjadi suara latar. Awalnya obrolan kami didominasi Mama yang menanyakan beragam pertanyaan pada Alva, mulai dari hal-hal seputar sekolah sampai apakah Alva memiliki saudara. Aku kira Mama sudah selesai ketika Mama menyesap teh manis hangatnya setelah mengajukan serentetan pertanyaan pada Alva, tapi ternyata topik penutup pembicaraan kami adalah topik yang tak kusangka mampu menghangatkan hatiku.

"Tante ini bukan tipe ibu-ibu yang antipacaran kok, Va," ujar Mama waktu itu, sambil sedikit terkekeh. "Selama Tante kenal sama papanya Kanya, waktu-waktu kami pacaran itu jadi waktu-waktu yang berkesan buat Tante. Tante menganggap pacaran itu bukan sekedar waktu buat haha-hihi, jalan sana-sini, makan bareng, foto bareng. Karena itu ... masa-masa pacaran jadi salah satu cara buat Tante kenal Oom lebih jauh lagi. Dari yang awalnya cuma tau hobinya Oom, sampai akhirnya Tante tau gimana Oom merencanakan masa depannya."

Setelah itu, Mama tertawa. Aku yang mengikuti arah pandang Mama—yaitu ke arah Alva—pun berujung berusaha menahan tawa. Alva cengo. Waktu itu, kupikir Alva terkejut mendengar bayangan 'pacaran' yang ada di kepala Mama. Aku pun sedikit terkejut, tak menyangka bahwa pacaran—seharusnya—seserius itu. Tapi, rasanya setelah delapan bulan menghabiskan waktu bersama Alva, aku jadi tau apa yang ia pikirkan waktu itu.

Bagaimana bisa Alva tidak cengo ketika Mama membicarakan soal masa depan, sementara Alva saja tidak memikirkan rencana untuk hari esok?

"Tenang aja, Va. Tante nggak lupa kok, kalo kalian masih pake putih abu-abu. Tapi, tante harap, baik Kanya ataupun Alva," kata Mama sambil melirik ke arah kami berdua waktu itu, "bisa sama-sama belajar dari proses pacaran ini. Nggak cuma haha-hihi, tapi waktu ada masalah dan berantem, gampang bilang putus. Masalah itu pasti ada ketika dua orang menjalin hubungan, mulai dari hubungan kerja, temenan, pacaran, bahkan sampai pernikahan. Soalnya, di dunia ini, nggak ada satu orang pun yang punya kepribadian sama persis dengan orang lain. Dengan kepribadian dan karakter yang beda-beda, pastinya cara pandang kita terhadap sesuatu juga beda dengan pandangan orang lain.

Sering kali, orang nggak bisa menerima adanya perbedaan, dan itu juga yang berpotensi bikin kita berantem sama temen, pacar, atau bahkan suami. Padahal, dengan adanya perbedaan, dengan adanya masalah, itu lah yang bikin kita bertumbuh dan bisa liat suatu masalah dari sudut pandang yang lebih luas.

"Makanya ... ketika nanti kalian menghadapi suatu masalah, jangan kebawa emosi dan cepet bilang putus. Masalah itu—selain membantu kalian untuk lebih dewasa—juga bisa bikin kalian kenal satu sama lain lebih deket lagi. Pacaran itu bakalan seru kalo kedua pihak mau berjuang sama-sama untuk ngadepin masalah yang ada. Siap, laksanakan?" tanya Mama pada akhirnya, setelah nasihat panjang-lebar yang mampu membekas di hatiku sampai hari ini.

Setelah Alva mengangguk hari itu—dengan sikap hormat bak murid SD yang baru pertama kali mengikuti upacara bendera—, Mama menambahkan wejangan yang membuat Alva menggaruk-garuk kepalanya—yang kuyakini tidak gatal sama sekali.

"Tante percayain Kanya ke kamu nih ya, Va. Kalo sampe Tante dapet kabar aneh-aneh soal Kanya, Tante udah tau, lho, siapa yang harus dicari," kata Mama dengan raut wajah yang (awalnya) serius.

Love is a VerbWo Geschichten leben. Entdecke jetzt