"Tolong yang mulia terluka," ujarku cemas.

Tak lama beberapa tabib memapahnya dan membawanya ke Mansion miliknya. Ia di baringkan perlahan dan diperiksa, sementara aku sudah diajak kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Aku duduk berendam di bak mandi sambil melamun—mungkin. Mengabaikan tatapan bibi Athea yang seperti sedang membaca pikiranku hingga ia terpaksa bertanya, "Apa—terjadi sesuatu selama perjalanan yang muli—maksudku nona?"

Aku terdiam cukup lama sambil mencerna kalimat 'terjadi sesuatu' dan parahnya aku teringat Velian yang membuat wajahku terasa memanas, tapi aku juga cemas dengan keadaan Erick saat ini.

"Tidak ada," sahutku akhirnya. "Aku—hanya khawatir dengan kondisi putra mahkota."

Bibi Athea tersenyum dengan pipi sedikit bersemu, entah apa yang dipikirkannya. "Kau tidak perlu cemas, yang mulia akan baik-baik saja."

"Yah semoga saja." Aku menarik napas panjang.

Seusai mandi aku terduduk di kursi riasku dengan balutan handuk sambil memperhatikan bibi Athea yang sedang memilah-milah pakaian untukku.

"Aku ingin pakaian yang sederhana dan tidak terlalu banyak renda dan pita."

"Desain pakaian untuk tuan putri tidak ada yang sesederhana seperti yang kau inginkan nona. Kalaupun ada, itu akan membuatmu terlihat seperti gadis bangsawan biasa."

"Tidak apa-apa. Aku ingin pakaian yang seperti itu, lagi pula aku tidak akan keluar kemana-mana."

Bibi Athea menghela nafas. "Tapi—"

"Ini perintah," potongku sebelum ia mulai berargumen.

Mendengar kalimat itu, bibi Athea baru menurut dan segera mencarikannya. Sebenarnya—itu sangat tidak cocok untuk disebut lemari, karena itu adalah sebuah ruangan yang berisi puluhan gaun dengan berbagai model yang katanya di rancang oleh para desainer terkenal dari luar negeri. Itulah yang membuatku enggan memasukinya karena terlalu banyak pakaian dan aksesoris di dalam sana yang akan membuatku sedikit pusing.

"Usahakan jangan yang berwarna merah muda. Warna biru seperti samudera, aku lebih menyukainya," pintaku lagi.

"Baiklah nona."

Tak lama, bibi Athea keluar dari dalam sana dan membawa sebuah gaun panjang berwarna biru gelap yang memiliki sedikit renda namun ada pita di bagian lehernya. Lumayan terlihat simple dari yang biasanya.

Aku segera berganti pakaian dibantu bibi Athea untuk mengikat tali korsetku, kemudian duduk di kursi rias sambil menatap diriku yang rambutnya sedang ditata. Setelah selesai, aku segera menuju ke kamar Erick untuk memastikan kondisinya.

"Bagaimana dengan keadaanya?" tanyaku setelah tiba di sana.

"Keadaanya mulai membaik yang mulia. Hanya butuh istirahat beberapa hari kondisinya akan pulih."

Aku menatap sosok yang kini terbaring di tempat tidurnya. Pemuda yang kukenal kejam tanpa ampun dan suka seenaknya, aku tak menyangka akan melihatnya selemah ini.

"Terimakasih sudah merawatnya. Jika sudah selesai, kalian sudah diizinkan untuk kembali. Sisanya biar aku yang merawatnya."

"Baik yang mulia."

Para tabib itu mulai meninggalkan ruangan dan kini hanya tinggal kami berdua. Aku mendekatinya kemudian duduk di tepi ranjang sambil menatapnya. Jika di perhatikan, mungkin dia seumuran Zealda. Bulu matanya ternyata panjang, meskipun tidak lentik tapi begitu rapi. Dia juga memiliki bibir yang sama seperti Velian.

AssassinWhere stories live. Discover now