Pandangan Pertama dua cangkir Cappucino

Comincia dall'inizio
                                    

Di ujung kanan, sebuah meja ditempat dengan 4 ladies yang asyik berceloteh sambil sesekali setiap dari mereka menoleh dan memencet gadget masing-masing. Para barista sibuk lalu lalang. Ya café kecil ini ramai sekali. Semoga saja saran sang gadis di seberangku ini tidak mengecewakan.

Menyibukkan diri , aku melirik layar ponsel android dan membaca beberapa pesan yang tertera. Tidak ada yang istimewa, kebanyakan berurusan dengan pekerjaan dan beberapa message ha ha hi hi dari teman.

"Silakan Mocchcino Chocolate anda, Miss Verlyn." Suara sang barista membuat kami berdua mengangkat wajah dari kesibukan masing-masing.

Verlyn mengucapkan terima kasih dan mulai menyesap perlahan minuman di hadapannya.

Aku hanya menatapnya tak tahu harus berkata apa. Bahkan ketika di menyesap minumannya, terasa anggun di mataku. Aku pura-pura berkonsentrasi pada ponselku daripada tertangkap basah sedang menatapnya kembali.

"Baru pertama kali kemari?'

Aku menengadah menatapnya.

"Baru pertama kali kemari?" ulangnya ,mungkin Karen tidak ada jawaban dariku.

Uhhh...BODOH sungguh kamu Evan.... ! Ingin sekali aku menjitak kepalaku.

Entah sudah berapa kali tindakan bodoh yang kulakukan di depan Verlyn yang anggun ini.

Aku menatapnya...dan memaksa mulutku mengeluarkan suara tapi yang terdengar hanya gumaman tak jelas. Seperti suara lenguhan sapi. ADUHHH....ini benar-benar memalukan.

Untungnya, Verlyn berbaik hati tidak menertawakan kebodohanku. Aku berderhem.

Berharap dalam hati kali ini yang keluar ada suara bukan lenguhan sapi.

"Ya , ini pertama kalinya. Saya sedang ke tempat klien, dan kebetulan melihat café ini. "

Verlyn mengangguk. Dia menunduk, menekuni Moccachino Chocolatenya.

"Kamu langganan di café ini?" aku memberanikan diri bertanya.

Dia mengangguk tersenyum, "Ya, aku biasa datang ke sini, setidaknya sebulan sekali. Terkadang bisa 2 atau 3 kali dalam sebulan."

"Tak heran, para barista mengenalmu."

Dia kembali mengangguk. " Ya. Rasanya aku sudah menjadi customer mereka, sejak café ini didirikan."

Aku hanya mengangguk , tidak ada ide percakapan. ADUH otakku ini sungguh tumpul kalau harus berhadapan dengan wanita cantik. Beda ketika aku berhadapan dengan klien, mempresentasikan blueprint bangunan , setiap kata mengalir bagai sungai dari mulutku. Tapi kini, tak satu pun kata bisa terangkai di hadaparan Verlyn. Benar-benar malapetaka.

Semeja dengan gadis cantik, tapi yang bisa aku lakukan hanya diam dan menatapnya (sembunyi-sembunyi, tentu saja, tidak ingin membuatnya jengah).

"Silakan Cappucino dan Opera cake , anda, Pak." Sang Barista menyelamatkan suasana yang super kaku ini.

"Ada pesanan yang lainnya, Pak?"

Aku menggeleng, "Tidak. Ini saja. Terima Kasih."

Bau harum Cappucino langsung menguar, menyeruak masuk ke paru-paruku. Harumnya sungguh nikmat. Keharuman yang menggugah selera.

"Wanginya harum sekali." Ujarku tak sengaja.

Rupanya Verlyn mendengarnya. Dia menurunkan novelnya, menutupnya dan meletakkannya di meja. Kali ini aku bisa melihatnya judulnya "Wuthering Height"

Dia tersenyum,"Sekarang coba dihirup...rasanya lebih tangguh dari wanginya."

Aku mengikuti sarannya, menyeruput Cappucino - ku. Tak bisa tidak, aku setuju dengannya. Rasanya benar-benar tangguh.

Cinta dalam Secangkir CappucinoDove le storie prendono vita. Scoprilo ora