Chap 2

2.4K 173 5
                                    

Hi, guys! Jadi, gue lagi edit ulang cerita ini dari awal. Makanya gue unpublish part-part lain. Dua chapter ini adalah yang udah gue edit dan ada beberapa perubahan. Jadi, kalian baca lagi dari chapter satu ya supaya ngerti nanti ceritanya.

Karena sambil sibuk kuliah dan nugas, jadi bakal lebih lambat updatenya. Tapi akan diusahain update ASAP okay! Thanks, guys. Enjoy xx

*

"Kenapa kamu cemberut gitu sih, Ra?"

Aku mengalihkan pandanganku dari jendela mobil dan menoleh ke Papa yang duduk di sampingku di dalam mobil. "Aku nggak cemberut. Cuma Papa kan tahu kalau aku malas datang ke acara kayak gini."

Papa tertawa dan mengelus rambut yang sudah kukeritingi. "Nggak papa dong. Papa kan mau pamerin anak cewek Papa yang cantik gini."

Aku memutar kedua bola mataku mendengar gombalan Papa. Aku yakin sekali kalau dulu Papa pasti menggait hati Mama dengan gombalan-gombalannya itu. Bahkan sampai sekarangpun, Papa masih suka menggombal. Rasanya, gombal itu memang sudah tertanam dalam darah Papa.

"Mulai deh Papa gombalnya," komentarku sambil tertawa.

"Kamu kan juga anak Papa. Papa mau ngenalin kamu ke teman-teman Papa. Banyak yang nanyain kenapa kamu jarang ikut."

Aku terkekeh pelan. "Masa sih sampai ada yang nanyain? Yaudah, kan hari ini aku muncul. Mereka bisa lihat aku deh," balasku sambil tersenyum pada Papa.

Papa ikut tersenyum. "Nah, gitu dong. Gimana toko kue kamu?"

"Makin ramai, Pa, belakangan ini. Sampai-sampai, kadang bisa tutup lebih awal karena udah habis semua."

"Bagus dong. Kamu jangan sampe kecapekan ya. Papa heran, kamu udah punya anak buah yang bisa bikin semua menunya. Kenapa kamu masih nggak mau lepas tangan?"

Aku tersenyum melihat Papa yang selalu perhatian kepadaku. Jika aku bilang bahwa ia adalah papa terbaik di dunia, percayalah padaku. Walau Papa memang menginginkan anak-anaknya untuk mengambil alih perusahaan di masa depan, ia sama sekali tidak memaksakan kami untuk tertarik pada bisnis. Saat aku memutuskan untuk berhenti dengan kuliah business international-ku dan berniat kuliah jurusan pastry di Australia, Papa sama sekali tidak melarangku. Ia bahkan ikut membantu dan mendukungku saat aku memutuskan untuk membuka toko kue. Untung saja, Kak Stanley memang tertarik dengan bisnis. Papa senang bukan main karena tahu bahwa akan ada yang mengambil alih posisinya di perusahaan saat ia pensiun nanti.

Aku tahu betapa susahnya Papa membangun perusahaannya dari nol. Karena aku tidak ingin mengecewakannya, aku memutuskan untuk membantu di kantor tiga hari seminggu. Setidaknya aku tahu beberapa hal mengenai perusahaan Papa. Aku hanya datang membantu beberapa pekerjaan Kak Stanley saja.

"Aku nggak papa, Pa. Aku kan emang suka turun tangan sendiri. Biar aku bisa ketemu langsung sama customer sendiri dan bisa pantau langsung juga."

Papa menggeleng-gelengkan kepalanya bertepatan dengan mobil kami yang berhenti di lobby hotel dimana acara charity dinner tersebut diadakan. Seorang petugas hotel dengan cepat membukakan pintu untuk kami.

"Thankyou, William. Jangan lupa jemput lagi jam sepuluh malam," pesan Papa pada supir kami sebelum keluar dari mobil. William menganggukkan kepala sebagai jawaban. William sudah bekerja sebagai supir keluarga selama hampir sepuluh tahun lamanya sehingga ia sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Aku menggandeng lengan Papa sambil berjalan menuju lift hotel. Terlihat beberapa tamu yang berpakaian formal ikut masuk ke dalam lift. Aku yakin kami semua pergi ke acara yang sama.

Never MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang