Pertama, origami berbentuk hati. Origami itu tergantung di dinding kamarku, ada dua buah hati di sana, yang satu berwarna ungu dan ukurannya lebih besar, origami itu dikelilingi mawar dan di tepinya dikelilingi mutiara. Sedangkan hati yang ukurannya lebih kecil dipenuhi mawar berwarna-warni serta dikelilingi mutiara juga.

Selama prosesnya aku sempat kena marah, dikata-katain, dan dipukul juga. Namun aku hanya diam, sebagai anak tidak boleh durhaka, bukan?

Sedangkan origami kedua berbentuk lingkaran dan lingkaran itu dipenuhi bunga kecil-kecil berwarna kuning, ada juga warna lainnya seperti merah, biru, dan merah muda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedangkan origami kedua berbentuk lingkaran dan lingkaran itu dipenuhi bunga kecil-kecil berwarna kuning, ada juga warna lainnya seperti merah, biru, dan merah muda. Di sisinya ada satu bunga raksasa berwarna kuning, dan lingkaran bunga itu dihiasi lipatan kertas hijau yang menyerupai daun.

Selama proses yang kedua itu aku sempat kena marah karena suatu hal.

Aku membuat kerajinan tangan itu pada jam sebelas malam ke atas dengan pandangan buram karena genang air mata, aku melakukan itu agar tidak menangis dan cepat mengantuk, namun tetap saja ketika coba untuk tertidur akhirnya aku menangis juga.

Pembacaku, aku ingin tahu pendapatmu tentang suatu hal.

Bayangkan jika kamu terapung di tengah lautan luas dengan ombak badai yang menghantam dan kamu hanya berpegangan pada sebuah balok kayu yang menahanmu untuk tidak tenggelam, kira-kira apa yang kamu tunggu? Sebuah perahu kayu atau kapal penyelamat?

Sambil menunggu bolehkah aku mengambil kesimpulan bahwa yang kamu tunggu adalah sebuah keajaiban?

Yang jelas hidupku hanyalah abu-abu. Maka, pilihanku hanya ada dua yaitu hitam atau putih. Kalau aku mau hidup dengan rasa percaya diri tinggi dan berhenti untuk menangis, maka harus terjadi sesuatu dahulu dalam hidupku. Jika itu baik maka aku jadi putih, tetapi jika aku harus tetap tampil baik meski semua harapanku musnah, maka aku akan jadi hitam. Dengan Meletakkan harga diri setinggi mungkin, memandang orang lain lebih rendah dariku, berjiwa keras dan tidak mau diatur, serta sombong dan tidak punya rasa simpati terhadap orang lain.

Namun jauh di dalam hatiku aku masih berharap jika keajaiban itu ada sebab aku lebih memilih mati daripada hidup dalam kesedihan.

***

Kaca jendela kamarku siang ini sudah berembun, satu-satunya hal yang dapat menghiburku adalah memandang serta mendengar rintik hujan di halaman rumahku. Tetapi aku sama sekali tidak menyukai guntur, apalagi diselingi tawa cekikikan dari wanita jelek berambut panjang di loteng, katanya dia hanya ikut mampir untuk melindungi diri dari badai. 

Sebelum aku berhubungan dengan mantanku, aku memiliki sosok khayalan di benakku. Namanya Anthony dan dia yang sanggup memukul dadaku, dia gagah bak elang, dia baik, kami saling mencintai, dan yang paling penting mamaku menyukai dirinya. Aku ingin sekali mempersembahkan Anthony untuk mamaku.

Namun pertanyaanku adalah di mana Anthony-ku?

Aku menyentuh jendela dingin yang berembun dengan ujung jariku.

"Anthony," ucapku sambil menulis nama itu dengan menambahkan gambar hati. Aku tersenyum, namun sedetik kemudian aku hanya mendesah memandang tulisan itu.

Aku menoleh saat mendengar tanda notifikasi ponselku, aku pun berjalan mendekati meja kecil di mana boneka beruang merah mudaku berada. Aku menyelipkan rambut pendekku di belakang telingaku lalu mengambil ponselku, aku mengetuk layarnya hingga menampilkan aktivitas pesan umpan balik. Di sana ada satu pesan belum dibaca.

Hari ini ke kantor imigrasi, ya .... Tapi datangnya jam istirahat aja, ada yang penting.

Namanya Adri dan dia seusia denganku, kami saling mengenal semenjak aku membantu mengurus paspor Mama. Beberapa kali juga kami pernah saling curhat lewat pesan hingga kami pun tak lagi canggung ketika bertemu.

Dia cukup cekatan dan tanggung jawabnya bagus, bagiku tak ada orang sebaik dia karena meski urusan paspornya cukup rumit, dia malah menawarkan diri dan menghibur mamaku.

Aku melirik hujan di luar, tetapi karena ini penting jadinya aku akan berangkat saja. 

***

Hujan masih saja turun meski aku sudah sampai di depan kantor imigrasi yang memiliki dua lantai itu, aku berjalan di bawah payungku dan memandang kantornya, putih dan biru menjadi cat dominan bangunannya, selain itu kantor ini pun memiliki lahan parkir yang cukup luas.

Dadaku sempat berdebar saat melihat Adri keluar dari pintu kaca milik kantor imigrasi, aku belum pernah melihatnya seceria ini, dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya untukku. Adri cukup tinggi dan tubuhnya pun tegap, apalagi dengan seragam biru yang dilengkapi atribut di pundak, lengan, serta dadanya.

Seketika terlintas di benakku jika Adri ternyata memiliki ciri-ciri yang sama dengan Anthony-ku. Setiap kali aku menghampirinya, aku tak dapat mengendalikan degup jantungku.

"Amel, kamu gimana kabarnya? Terus mamamu gimana? Sehat?" tanya Adri setelah aku berada di dekatnya dan sudah melipat payungku.

Aku tidak heran jika dia bertanya seperti itu sebab setiap kami bertemu, dia selalu menanyakan kabarku lebih dahulu.

"Aku sama Mama kabarnya baik, Mama juga sehat. Kalau Bapak gimana kabarnya?" Semakin lama Adri terlihat menggemaskan.

"Ah, jangan manggil begitu, kayak yang udah tua aja, kita 'kan seumuran. Panggil Abang aja."

Rasanya pipiku langsung memanas dengan panggilan Bang Adri.

"Haha, kok, pipimu jadi merah gitu, Mel? Kamu baper, ya?"

"Eh, enggak, kok, siapa juga yang baper." Aku berdeham untuk menghilangkan kegugupanku. "Ada apa Bang Adri manggil aku ke sini?" tanyaku.

"Paspor mamamu udah beres. Jadi, bisa langsung diambil."

Aku membulatkan mataku saat mendengar berita baik ini, aku tidak menyangka bisa selesai juga, rasanya tidak sia-sia bolak-balik mengurus ini itu demi Mama.

"Beneran?"

"Iya, bener," balas Adri untuk meyakinkanku.

Aku sampai menahan jeritanku karena senangnya, sedangkan Adri hanya tertawa melihat tingkahku.

Sesaat aku merasa jika di dunia ini hanya ada aku dan Adri hingga orang yang lalu-lalang pun mengabur satu per satu.

"Amel," panggil Adri lembut. "Aku kagum sama kamu."

Aku terpana mendengar pujian yang dilontarkan Adri, aku hanya merasa aneh karena aku lebih sering mendapat makian dan sumpah serapah daripada pujian.

"Aku kagum karena kamu sampai bela-belain mama kamu dan aku juga jadi sayang sama kamu. Mel, aku mau jujur sama kamu ... aku suka sama kamu kalau kamu sendiri gimana?"

Jantungku hampir berhenti mendengarnya, namun aku pun tak dapat menahan bendungan air mataku sebab di depan mataku sendiri, seekor elang yang gagah dan perkasa malah hinggap di ranting bunga tahi ayam. Namun aku tak bisa membohongi perasaanku yang memang menginginkan dia.

"Aku juga suka sama Bang Adri."

TAMAT

***

Catatan:

Jangan lewatin bab berikutnya

Amelia #YaIndoMentalHealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang