Amelia

214 14 66
                                    

"Namanya Amelia dan kisah ini aku persembahkan untuk sahabatku di seberang pulau sana."

***

Jantungku berdegup kencang hingga membuat tubuhku tak bertenaga, tanganku pun jadi bergetar ketika mencari obat depresi di laci. Setelah aku menemukannya, aku lantas duduk di tepi ranjang dan meminum obatnya dengan bantuan air mineral di meja.

Aku mendesah dan meletakkan botol di meja lagi, kepalaku terasa pening akibat susah tidur dan kesedihan yang kualami. Dari sini aku bisa mendengar debat orang tuaku yang berlanjut meski hampir tengah malam, rasanya aku ingin menangis, tetapi aku tidak boleh sebab tangisanku tak akan berhenti sebelum aku tertidur.

Aku pernah dilarikan ke rumah sakit karena komplikasi dan penyebab utamanya adalah depresi. Kondisiku yang sebelumnya lebih parah daripada yang sekarang hingga membuat berat badanku menurun drastis. Meski begitu, aku masih ingin keluar dari penyakit mentalku. Orang-orang mungkin tak terlalu memperhatikan penampilan luarku, tetapi di dalam diriku ... aku menderita hingga kata penyemangat pun tak cukup untuk menyembuhkanku. Jika diibaratkan dengan bunga, aku tak pantas bersanding dengan bunga-bunga lainnya karena aku hanyalah bunga tahi ayam.

Aku memiliki lingkungan yang cukup buruk meski di usia dua puluh limaku, bukan dari luar, tetapi dari keluargaku sendiri. Kami memiliki sifat yang keras baik itu pemarah, mudah tersinggung, keras kepala, berlidah tajam, egois, dan lainnya. Kadang Mama menoyorku jika dia sedang emosi, namun bagiku makianlah yang lebih berbekas, bukan dari mamaku saja, Papa dan ketiga kakak laki-lakiku pun tak ada bedanya.

Aku sudah terbiasa menerima kata "tidak" daripada kata "iya", kadang aku berpikir percuma saja berdoa toh hidupku juga tak ada artinya, namun yang paling aku takutkan ialah kehilangan keyakinan atas doa dan harapan dan aku sudah tidak menginginkan apa-apa dalam hidupku, kecuali merawat orang tuaku.

Namun aku selalu kasihan pada mamaku, aku tidak tahan jika melihatnya menangis setelah bertengkar dengan papaku. Aku juga tahu Mama sudah kecewa berat dengan Papa dan kakak-kakakku, apalagi saat ini Mama mau berangkat beribadah ke tanah suci, tetapi tidak ada yang peduli dengan Mama.

Aku hanya memandang kosong beberapa lembaran kertas yang aku tempel di belakang pintu, tulisan itu berisi coretan tentang jangan banyak bercerita mengenai keadaanku lagi baik dengan temanku atau siapa saja.

Aku pun sudah memblokir semua kontak teman-temanku, aku sudah tidak ingin menceritakan lebih banyak kondisi yang kualami dan aku tidak menyesal melakukannya.

Dadaku bergemuruh dan mataku terasa perih hingga air hangat mulai menggenangi penglihatanku mengingat keinginan Mama untuk berangkat umrah, apalagi paspor Mama malah bermasalah hingga harus bolak-balik mengurus ini dan itu.

Beberapa bulan terakhir ini lamaran seorang pria yang kucintai telah gagal, salah satu penyebabnya karena kakak-kakakku menghasut orang tuaku, mereka berkata jika pria yang melamarku itu hanya menginginkan harta warisanku, bahkan sejak awal mungkin saja aku telah diguna-guna olehnya.

Sebab dana pesta pernikahan yang terkumpulkan batal dipakai, aku menyetujui agar Mama bisa berangkat beribadah, namun Papa dan kakak-kakakku tidak setuju dan lebih memilih untuk dibagi rata.

Itulah sebabnya, semua urusan Mama aku sendiri yang pegang.

Terkadang aku membuat origami untuk mengalihkan pikiranku, ada dua yang paling berkesan bagiku.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Amelia #YaIndoMentalHealthWhere stories live. Discover now