Pria itu sudah tiba di depan jendela kamar Anne, masih mengenakan kemeja putih dan jas abu-abunya. Tiga kancing kemejanya terbuka menampakkan dada bidangnya yang liat dan kecokelatan.

Anne menelan ludah dan menatap sepasang manik cokelat pria itu yang selalu indah untuk dipandang. Rasanya air matanya nyaris tumpah. "Tuan Albert?"

Albert mendekat, kedua tangannya bertumpu pada bingkai jendela, nyaris bersentuhan dengan kedua tangan Anne. Pria itu membungkuk, wajahnya tepat di depan wajah Anne. "Kudengar sakit magmu kambuh?"

Anne mundur sedikit, takut debaran jantungnya terdengar pria itu. Ingat, Anne, dia kini pria beristri! Harus menjaga jarak meskipun Tuan Albert cuma anggap kamu sebagai adiknya!

"Iya, tapi saya sudah baikan setelah seharian cuma tiduran."

"Syukurlah. Apa karena mengurus Alex? Kamu tidak makan dengan baik?"

Anne menggeleng. "Bukan. Saya eh ... mungkin karena saya tidak diterima di SMA favorit, Tuan, jadi saya kepikiran terus ... dan mag saya kambuh," dusta Anne, kakinya melangkah mundur, namun Albert menarik tangannya.

"Mau ke mana?"

"Eh ... mau menyalakan lampu, Tuan, supaya kamar saya terang. Tuan mau bertamu? Biar saya bukakan pintu rum--" Anne sangat terkejut saat pria itu melompat masuk ke dalam kamarnya.

"Tidak perlu, biar begini saja." Dalam keremangan kamar, pria tinggi itu tersenyum. Ia lalu berdiri di sebelah Anne, memandang ke luar jendela. Tampak olehnya pepohonan kiara payung berderet membatasi rumah mungil keluarga Anne dengan rumah mewah tiga lantai milik Ekasastra. "Dari sini pemandangannya bagus."

Jantung Anne rasanya mau copot berduaan seperti ini dengan Albert. "I-iya, Tuan. Apalagi dari sini saya bisa memandangi bulan. Lihat, bulan tampak penuh, Tuan. Cantik sekali."

Jauh di atas pepohonan tampak bulan penuh bersinar menerangi berlatar langit malam bertabur kerlap-kerlip bintang.

"Ya, benar, sangat cantik," timpal Albert.

"Saya betah berlama-lama memandanginya."

"Aku juga." Pria itu menoleh dan menunduk pada Anne. "Aku juga betah berlama-lama melihatnya."

Anne tersipu. Untung gelap, jadi wajah putihnya yang merona tidak terlalu kentara. "T-tuan baru pulang dari pesta pernikahan?"

"Hm, ya. Aku mampir ke sini untuk mengecek keadaanmu. Aku merasa bersalah saat mendengar kamu sakit. Tapi tadi pagi Swarsha mengajakku cepat-cepat ke pernikahan temannya."

"Iya, tidak apa-apa. Tuan jangan terlalu mencemaskan saya. Bukan salah Tuan Albert kalau saya sakit."

"Aku tidak suka kamu berbicara formal seperti ini, Anne. Kamu sudah kuanggap adikku."

"Sekarang saya bekerja sebagai pengasuh Alex, Tuan, jadi saya harus bersikap hormat."

Albert menghela napas. Ia kini duduk di birai jendela. Tubuh tinggi besarnya menghalangi pemandangan taman, membuat kamar kian gelap. Matanya menatap Anne yang berdiri dengan lekat. "Apa kamu sekarang punya pacar, Anne, di sekolah barumu? Atau pacar barumu masuk ke sekolah favorit sementara kamu tidak, makanya kamu kepikiran ...."

Anne tertawa kecil. "Pertanyaan apa itu, Tuan? Tidak ada."

"Benarkah? Kamu sudah lima belas tahun sekarang, tidak adakah pria yang kamu suka?"

Pertanyaan pria itu aneh. Ah, tidak, itu pertanyaan wajar, bukan? Aku saja yang merasa aneh. Pria yang aku suka? Tidak mungkin aku bilang bahwa Tuan Albert orangnya, kan? Sama saja mempermalukan diri sendiri.

"Belum ada, Tuan. Memangnya kenapa, Tuan?"

Albert menatapnya dengan senyum. "Tidak apa-apa. Aku cuma merasa heran kamu belum pernah membawa pacarmu ke sini, atau mungkin aku melewatkannya karena selama ini aku sibuk bekerja di restoranku." Suara pria itu terdengar aneh.

"Belum ada, Tuan. Kalau nanti saya punya pacar, Tuan Albert akan menjadi orang pertama yang saya beri tahu."

Anne tidak melihat saat rahang pria itu tampak mengetat.

"Iya, harus itu." Pria itu kemudian berdiri, dan kini kamar benar-benar gelap saat pria itu menutup jendela juga tirainya.

"Tuan Albert?" tanya Anne bingung.

Begitu cepat terjadi. Albert mendekapnya dengan erat, lalu bibirnya mencari bibir Anne, menekankan bibirnya ke bibir gadis itu. Terasa sejuk sekaligus panas. Rasa manis kue menyergapnya.

Sekujur tubuh Anne lemas dalam dekapan Albert. Pria itu tengah menciumi bibir Anne, sudut-sudut bibirnya, merambat ke dagu, lalu pipinya. Anne masih belum mengerti apa yang tengah terjadi. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya bergetar. Saat lidah pria itu menjilati telinganya, erangan lolos dari bibirnya, dan pria itu membungkam mulutnya dengan tangan besarnya sementara ciuman pria itu turun ke lehernya.

Anne memukul-pukul kedua bahu bidang Albert hingga akhirnya ciuman pria itu terlepas dari area tulang selangkanya.

"Tuan Albert?" Air mata Anne menetes. "Apa yang Tuan lakukan? Lepaskan saya!" Gadis itu mendorong Albert, namun pria itu bergeming, malah kini dekapannya kian erat.

Bibir pria itu menyentuh telinga Anne dan berbisik. Suara itu berbeda, tidak jernih seperti biasanya. Terdengar serak dan berat. "Maaf, kurasa aku sedikit mabuk. Biarkan aku begini sebentar."

Tubuh besar Albert yang memeluk Anne terasa berat. Aroma segar pria itu menggoda Anne, dan jika lebih lama lagi pria itu memeluknya, ia bisa pingsan. Maka Anne lagi-lagi mendorong pria itu, kali ini pelukan terurai.

"Sebaiknya Tuan pulang, nanti Nyonya Swarsha mencari Tuan."

"Ya, kamu benar. Swarsha yang cantik dan seksi sudah menungguku." Albert kembali membungkuk, wajahnya berseri-seri menatap Anne. "Kamu masih lima belas tahun tentunya belum mengerti soal apa yang akan aku dan istriku lakukan di kamar."

Wajah Anne terasa panas hingga ke telinga. Dadanya sakit. Apa pria ini mabuk seperti katanya? Tapi napasnya tidak berbau alkohol, malah manis seperti aroma kue.

"Swarsha sangat menggairahkan, dan payudaranya sangat besar, tidak muat di tanganku."

Kedua tangan Anne terkepal. Sepertinya Tuan Albert memang mabuk, karena ini seperti bukan dirinya. Marah, Anne mendorong pria itu ke arah jendela, menyibakkan tirai dan membuka jendela. Angin dingin menerobos masuk membuat Anne menggigil.

"Sebaiknya Tuan Albert mandi biar pikiran Tuan jernih. Selamat malam."

"Sssttt ..." pria itu belum juga pergi, ia tidak terima didorong-dorong oleh Anne. Ia berbalik dan mencengkeram kedua bahu mungil Anne. "Saat kamu mencicipi pria untuk pertama kalinya, berjanjilah, lakukan setelah kalian menikah."

"Saya--"

"Berjanjilah."

Ingin Anne membantah, tapi supaya pria itu lekas pergi, gadis itu cuma mengangguk.

"Bagus, ini baru adikku." Albert mengecup pipinya sebelum melompat keluar dari kamar Anne. Lalu ia berjalan dengan langkah lebar ke arah pepohonan kiara payung.

Anne buru-buru menutup jendela dan tirainya. Tanpa menyalakan lampu, ia naik ke tempat tidur, menarik selimut, dan memejamkan matanya erat. Air matanya tumpah. Dadanya sakit membayangkan Tuan Albert akan menikmati tubuh istrinya.

Selama ini Anne tidak pernah membayangkan hal itu, tapi setelah Albert mengucapkan dengan jelas, ia tahu dunianya dan Albert jauh berbeda. Ia takkan sanggup masuk ke dunia dewasa seperti itu. Tidak sekarang di usianya yang masih lima belas.

Tangisan Anne teredam bantal. Ia berharap magnya kali ini tidak kambuh lagi.

🍂🍂🍂

Author: Emerald8623, 19 Mei 2019. 22.40.

Repost, Kamis, 30 November 2023, 06.50 wib.

Selamat datang di dunia terlarang Anne & Tuan Albert

Brokenhearted by EMERALD a.k.a. Putri PermatasariWhere stories live. Discover now