Pelampiasan

22 1 0
                                    

"Lihatlah, dia sepertinya menyukaimu. Bagaimana kalau kau dengannya saja supaya kau bisa mengakhiri rasa sepimu saat ini?"

Aku hanya tersenyum kecut. Andai saja permasalahannya sesederhana itu. Namun nyatanya tidak. Tidak semudah itu berusaha menyukai seseorang.

"Seandainya saja aku bisa begitu mencintainya sama seperti aku mencintai orang yang aku cintai sekarang, tanpa kau suruh pun aku akan melakukannya dengan senang hati"

Dia, sang penasihat, memandangiku dengan tatapan prihatin, lalu berbalik meninggalkanku. Aku pun kembali dengan perenungan yang kulakukan.

Dia yang mengejarku dari belakang, begitu mencintaiku. Dia menarik, baik bagai malaikat, begitu sabar menghadapi tingkah lakuku. Sejujurnya aku pernah tertarik dengannya, tetapi kemudian perasaan itu menguap. Lalu, aku kembali dengan perasaan bodoh ini, perasaan yang tidak tahu malu.

Sebenarnya bisa saja aku berusaha mencintai orang yang menaruh rasa padaku. Tetapi, bahwasanya aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Bahwasanya aku juga tahu, bahwa menjadi pelampiasan adalah sesuatu yang begitu menyakitkan. Aku tidak mau menyakiti perasaan orang lain, aku tidak mau menghancurkan perasaan yang tulus dan indah bagai bola kaca jernih tersebut. Tetapi, aku tahu, di dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan, semua pihak tersakiti. Termasuk aku.

Lalu otakku berkata, "jangan kau berani-berani melampiaskan perasaanmu hanya karena kesepian dalam dirimu. Urusi saja perasaanmu sendiri, jangan menyakiti orang yang mencintaimu dengan berpura-pura menaruh rasa".

Aku pun membalas, "siapa juga yang akan mengulangi kesalahan bodoh itu? Sudah cukup aku pernah kehilangan sahabat hanya karena tindakan tolol itu. Jangan menamparku terlalu keras, wahai alat berpikir manusia"

"Tidak, aku tahu, manusia kadang lupa akan rencananya sendiri. Sudah, lebih baik urusi perasaanmu dengan orang yang benar-benar kau cintai"

"Hah, kau tahu sendiri, bahkan kau yang menasihatiku untuk berhenti mencintainya. Dasar munafik"

"Memang benar, aku menasihatimu karena dia yang kau beri rasa tidak mau engkau beri rasa. Aku hanya berusaha melindungi kita semua, tetapi aku juga tidak mau kau mencari pelampiasan hanya untuk menutupi luka busukmu yang sesungguhnya"

Dasar otak kurang ajar. Tetapi, hatiku menyahut, "hei, sudah, hentikan. Kau tidak perlu menggurui terlalu banyak, dasar makhluk rasional. Jangan memaksa kami untuk berhenti mencintai. Kau tahu sendiri, bahwasanya berhenti mencintai bukan urusan mudah. Lalu, jika kau menyuruh kami untuk berhenti, bukankah kau seharusnya tidak melarang kami untuk berusaha menyayangi orang yang menyayangi kami?"

Otakku menyahut, "benar. Tapi bukan dengan cara seperti itu. Ingatlah, tujuan hidupmu bukan hanya untuk perkara percintaan saja, kau masih punya mimpi. Fokuslah saja pada itu"

Hahaha. Benar sekali, aku hampir lupa. Tapi kau lupa, bahwasanya walaupun aku berfokus pada mimpiku, rasa ini harus dihilangkan supaya tidak menggangguku. Tapi, bagaimana jika ternyata aku memang membutuhkan pelampiasan? Aku tidak bisa tidak mencintai orang lain. Aku tidak bisa secara langsung melupakannya.

"Kau benar. Aku lupa, rasioku sering lupa bahwasanya cinta sulit dihilangkan, lebih tepatnya kau yang belum mau menghilangkan"

Aku hanya tertawa getir, lalu menyesap kopiku dan menerawang ke luar jendela berembun.

Tesis dan AntitesisKde žijí příběhy. Začni objevovat