03 • She and He

31 5 0
                                    

Sakamaki Kana berusaha menetralkan detak jatungnya yang kian detik semakin cepat. Jujur saja, ia takut Uduki Arata akan berbicara kasar atau mungkin menghinanya. Bukan berarti ia penakut, ia tidak tahu mengapa dirinya begitu takut jika yang melakukannya adalah pria itu.

Sakamaki Kana menunggu pria itu di atas atap sekolah. Uduki Arata akan menyusulnya setelah mengumpulkan tugas sejarah yang telat dikumpulkan.

Embusan angin sore menerpa wajah perempuan itu. Perlahan-lahan, ia sudah dapat berpikir lebih jernih. Ia akan berusaha menanggapi perkataan Uduki Arata dengan lebih positif.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama."

Uduki Arata berjalan mendekatinya dan mengambil tempat di sebelah Sakamaki Kana. Keduanya duduk di salah satu bangku yang berada disana.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Sakamaki Kana dengan senyumnya yang seperti biasa. Melihat itu membuat Uduki Arata jengkel.

"Bisakah kau tidak tersenyum seperti itu? Aku tidak suka melihatnya. Lagipula, disini hanya ada aku dan kau."

Sakamaki Kana terdiam.

"Ah, maaf... Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya tidak suka melihatmu terus berpura-pura ... bahkan di depanku."

Sakamaki Kana langsung menoleh ke arah pria di sebelahnya. "Eh?"

"Hm?" Uduki Arata mengernyit.

"Ti-tidak apa-apa. Hanya saja, pe-perkataanmu terdengar seperti i-itu... Lupakan saja!"

'Imut.'

Baiklah, sepertinya Uduki Arata tidak sadar apa yang baru saja ia katakan di dalam hatinya.

"Kau, apa kau masih akan terus merokok?" tanya Uduki Arata tiba-tiba. Sakamaki Kana tersentak dan kemudian mengangguk.

"Apa ada orang lain yang tahu selain aku?" tanya pria itu dan Sakamaki Kana hanya menggelengkan kepalanya. Uduki Arata bernapas lega.

"Apa kau tidak ingin berhenti?" tanyanya lagi, "maksudku merokok dan berpura-pura."

Perempuan itu mengawali jawabannya dengan tawa garing. "Kalau bisa, aku sudah melakukannya dari dulu."

"Apa kau ingin berhenti?"

Sakamaki Kana terdiam. Bahunya bergetar dan kepalanya mengangguk perlahan. Uduki Arata menepuk pelan bahunya. "Apa kau bisa menceritakannya padaku? Alasanmu menjadi seperti ini."

Sakamaki Kana tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia merasa bisa menceritakan semuanya pada pria itu. Perlahan-lahan ia menceritakan kisah ia waktu sekolah dasar.

Kisah itu menceritakan teman sekelasnya yang mendapat perlakuan kasar. Ia dipukul, diceburkan di kolam, dan beberapa barang milik anak itu dibakar. Hal itu berawal hanya karena anak itu tidak memberikan jawaban untuk ulangan dadakan. Sakamaki Kana mengatakan dirinya terlalu lemah untuk membantu temannya itu.

Sakamaki Kana bahkan diancam jika ia berani membantu anak itu. Mereka bahkan pernah memotong rambut anak itu dan merekamnya. Mereka sempat menyebarkannya, namun langsung dihapus setelah satu hari kemudian.

Saat itu, anak itu hanya bisa pindah dari sekolah itu. Para pembuli itu bahkan tidak meminta maaf padanya. Mereka hanya tertawa dan mencari korban lainnya.

Sakamaki Kana menceritakannya diselingi isakan kecil dan di akhir kalimat ia menangis. Uduki Arata langsung merengkuh tubuh rapuh itu. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan jiwa yang terlihat kesakitan itu.

"A-aku hik... s-sudah... me-membuat-nya... hik... terlu-ka... A-aku ha-rus hik... me-nebusnya hik..."

Uduki Arata menepuk punggung perempuan yang masih terisak itu. "Bukan salahmu, kau hanya melakukan apa yang kau bisa. Aku yakin anak itu akan marah jika kau membantunya karena bukan hanya kau saja yang menyukainya, dia pun juga."

Uduki Arata melanjutkan dengan suara pelan, "Tenang saja, anak itu tidak marah padamu, kok. Karena itulah aku ada disini. Kembali padamu."

Sakamaki Kana tersentak. "Kau...?"

"Iya, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah. Aku sendiri lebih senang sendirian sekarang." Uduki Arata tersenyum tipis.

"K-kau, apa ini benar kau?"

"Iya, ini aku. Maaf sudah membuatmu menderita, Kana."

Sakamaki Kana menghapus air matanya. "Tidak! Aku yang seharusnya meminta maaf!"

"Aku sudah memaafkanmu, Kana."

"Tetapi, kalau kau sudah memaafkan, kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?"

"Karena aku tidak ingin menganggu kehidupan barumu. Tetapi, setelah berkali-kali melihat senyum palsumu, aku tidak tahan untuk terus diam." Ia mengakhirinya dengan senyuman.

"Jadi, apa kau masih ingin bersamaku?" tanya Sakamaki Kana. Dia sedikit gugup untuk mendengar jawaban yang akan diberikan pria itu.

Uduki Arata mengangkat jari telunjuknya dan diletakkannya di dekat pipi--terlihat seperti sedang berpikir. "Umm... Aku tidak ingin merasakan itu lagi."

Sakamaki Kana langsung tersenyum pahit. "Tentu saja kau pasti tidak ma--"

"Bukan itu, maksudku, aku tidak suka melihatmu sendirian dan aku tidak tahan jika tidak bersamamu."

Perkataan yang terlalu jujur itu membuat Sakamaki Kana merasa panas. Ia tidak tahu bahwa dirinya akan diterima.

"Wajahmu merah, kau demam?" tanya Uduki Arata. Pria itu tidak peka atau sedang menggodanya?

"E-eh? Mu-mungkin karena habis menangis."

Uduki Arata mendekatkan wajahnya. "Iya, matamu juga bengkak. Apa kau tidak apa-apa?"

'Dekat! Terlalu dekat!'

Sakamaki Kana menjerit dalam hatinya.

"Tidak apa-apa kok. Maaf ya bajumu jadi kotor." Sakamaki Kana menatap seragam Uduki Arata yang basah karena tangisannya. Tepukan singkat di kepala Sakamaki Kana membuat perempuan itu tersenyum.

"Tidak apa-apa. Ini bisa dicuci, tidak seperti masa lalu yang tidak bisa dicuci."

"Tenang saja, kita bisa menggantinya dengan kisah yang baru," kata Sakamaki Kana dan memeluk sekali lagi tubuh Uduki Arata.

Flower Project; Primrose [√]Where stories live. Discover now