Rumah Kapas

70 5 0
                                    

“Kita tidak bisa seperti ini terus.” Ben bergumam tidak jelas, mulutnya mengeluarkan uap.

Semilir angin yang lewat terasa membekukan tulang. Daerah ini mengingatkan Nick pada kisah menyedihkan seekor berang-berang yang mati kedinginan. Nick bersumpah ia sama sekali tidak ingin bernasib sama seperti berang-serang malang itu.

 “Jadi apa yang harus kita lakukan?” Thalia menanggapi perkataan sepupunya. Ia berjongkok dan memeluk erat bukunya, seolah-olah benda tersebut adalah tamengnya.

“Aku lupa bilang kalau,” suara Nadia menyeruak, ia mendongak menatap Nick, lalu menunduk lagi. “Ada peraturan yang ditetapkan buku tersebut, kalau kita tidak boleh membuka dua lembar dalam satu waktu.”

Ada nada menyesal di dalamnya.

“Tempat ini dingin, sebentar lagi mungkin kita akan jadi es batu.” Percy ikut jongkok dan memeluk lututnya sendiri. Uap-uap dingin terlihat menguar dari sandalnya. Rambut coklatnya berubah menjadi sedikit keperak-perakan di selimuti es.

Thalia berinisiatif. “Nick, apa yang harus kita lakukan?”

Suara Thalia menyentak Nick kembali ke alam sadarnya kembali. Matanya yang terlihat redup di bawah pengaruh dingin memberi isyarat bahwa dia menginginkan solusi, dan tujuannya adalah Nick.

Nick mengerjapkan matanya, hal pertama yang ia lihat adalah bibir pucat Thalia, bibir yang semalam ia sentuh. Sentuhan tangan dingin Nadia di lengannya membuatnya terkesiap, buru-buru ia mengenyahkan pemikiran bodohnya.

Lalu Nick berkata, “Jangan tanya padaku kalau kenyataannya ini semua salahmu.” Ucapannya bernada telak.

Nadia hanya diam saja mendengar suara Nick, yang ia lakukan hanyalah menekan bagian pipinya yang terluka. Rasanya sudah tidak lagi berdenyut karena suhu dingin yang membuatnya mati rasa, bahkan ia sudah tak dapat lagi merasakan tulang kaki yang menyangga tubuhnya.

Ben berjalan mendekat ke arah Nick. “Tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain.” Perkataan itu diucapkan Ben dengan nada menohok, tatapannya menyiratkan bahwa ia ingin mengibarkan bendera perang. Ia mengitari Nick dan berhenti tepat di belakang pungung pemuda itu.

“Kita butuh ini.” katanya dan langsung menarik ransel di punggung Nick. Ben kemudian membongkar ransel dengan cepat, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa di pakai untuk keadaan seperti ini.

Thalia bergerak maju dan membantu Ben membongkar isi ransel.

Terdapat beberapa barang dan peralatan yang biasa dipakai oleh para surviver. Pemantik, kotak obat, jaring tidur, beberapa kaleng makanan dan botol minuman, semua tak dibutuhkan untuk hal seperti ini, mereka bahkan tak merasakan haus dan sakit karena suhu yang terlalu dingin. Mungkin jika mereka menggunakan pengukur suhu, bisa jadi pengukur itu menunjukkan angka di bawah 0 derajat celcius.

Percy berjalan mendekati Thalia dan Ben yang sedang memberesi ransel.

“Apa yang bisa kita gunakan?” suara pemuda itu sangat kentara gemetar.

“Tak ada” Jawab Ben ketus dan tanpa mengalihkan pandangan dari ransel yang sedang diberesinya. Ia mengisyaratkan pada Thalia agar memasukkan buku tersebut ke dalam tas, namun Thalia hanya menggeleng dan malah Percy yang memasukkan ipadnya.

Ben beranjak berdiri ketika Percy menahan lengannya, “Tapi kita bisa menyalakan api kan?” kata pemuda itu.

Ben dan Thalia nampak berpikir sejenak, lalu Thalia membuka mulutnya. “Menggunakan apa?”

“Tidak ada yang bisa kita harapkan.” Nick yang menjawab, ia beranjak ke tempat Ben. “Kita hanya bisa berharap ada keajaiban yang datang.” Saat mengatakannya, Nick memandang tajam pada Thalia. Gadis itu hanya menunduk, jika tatapan bisa membunuh ia sudah tewas ditatap oleh Nick.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 27, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Buku Ramalan SintaWhere stories live. Discover now