"Ambil kompas kalian." tiba-tiba suara serak Zul menyentuh kesadaranku. Aku dan Soni berpandangan. Kami lantas meraih kompas masing-masing.

"Bidikkan ke pohon pinus itu, pohon yang tertinggi." suara Zul terdengar gentar saat mengucap. Lagi-lagi aku dan Soni berpandangan tak mengerti.

"Bidik saja, Son. Dan baca hasilnya. Kau juga, Ryan." Zul menelan ludah. Bola matanya terlihat pasrah. Aku dan Soni bersegera membidikkan kompasku ke pohon pinus yang dimaksud.

"Arah barat, angle 271." ucapku sambil menilik jarum kompas.

"Arah timur, angle 91." Soni terbelalak menyaksikan jarum kompasnya. Kedua alisnya tertaut.

"Salah satu dari kompas ini pasti ada yang rusak. Tak mungkin seperti ini." Soni menggoyang kompasnya kiri kanan. Ia kebingungan.

"Kompasmu baik-baik saja, Son. Kompas kita tak ada masalah." suara Zul yang bergetar memantik kekhawatiranku.

"Jarum kompasku persis ke arah utara. Angle 0 derajat. Kupinjam kompas Benny, jarumnya menunjuk bearingangle 181 derajat. Semua kompas yang kita miliki menunjuk arah yang berbeda."

"Bagaimana dengan GPS-mu?" sela Soni khawatir

"GPS-ku habis baterai, termasuk cadangannya. Kurasa terserang dingin." Krisna bergantian memandangi kami.

"Kalau boleh kukatakan, kita terperangkap di tempat ini. Mata kita buta, telinga kita tuli. Yang bisa kita lakukan hanya berharap keajaiban."

"Anjing!! " umpat Benny. "tak seharusnya kau bercakap seperti itu, Zul. Kukira kau pernah mengalami kejadian yang lebih berat. Kau pernah tersesat berhari-hari di belantara !" paras Benny terlihat murka.

"Iya. Tapi... tapi... tapi kondisinya tidak seperti sekarang, Ben. Waktu itu tak ada badai. Langit cerah sehingga aku bisa mengetahui posisiku di peta. Tapi lihatlah sekarang. Badai masih mengamuk. Jarak pandang tak lebih dari 20 meter. Kalau kau memaksa, mayatmu pasti tergelitik di dasar jurang."

Suasana tiba-tiba hening mendengar kalimat Zul. Aku ngeri membayangkannya.

"Apa kau punya solusi, Zul?" tanyaku yang terpantik gentar. Zul memandangku.

"Begini, Ryan. Ada sesuatu yang tak kumengerti dengan tempat ini. Kompas kita tak berfungsi, medan magnet tak mengikuti pola yang seharusnya, sepertinya..."

"Aaahhh!!! aku tahu kalau itu." Soni memotong. "Tapi kau punya solusi atau tidak, itu yang lebih penting!!! kita tak boleh menyerah! pacarmu dalam kondisi kritis!" Soni meradang mendengar jawaban Zul yang bertele-tele.

Zul seketika terdiam. Lelaki tolol itu memandangi kami satu persatu seraya tatapannya meminta maaf. Sedangkan Benny, keparat oportunis itu nampak kesal dengan sikap Zul.

"Yang bisa kita lakukan hanya menunggu badai ini reda. Seandainya nanti malam langit cerah, kita lakukan orientasi medan menggunakan tanda-tanda astronomi."

"Tanda-tanda astronomi? kau yakin dengan omonganmu, Zul?" sahut Benny sembari menatap Zul tak percaya. Emosinya mulai labil.

"Kalau memang nanti malam langit mendung, tak ada pilihan lain, kita harus menunggu."

"Apa? menunggu?? tidak, aku tak mau menunggu cuaca sial ini reda, kau pikir cadangan makanan cukup?" Benny mulai kalap.

"Ya, cadangan makanan memang tak cukup, Zul" imbuh Soni sambil mengusap wajah.

"Aku tahu, Kawan. Maafkan aku. Tapi setidaknya berharaplah keajaiban, itu saja."

"Bangsat!!!" Benny membanting keras kompasnya. Dia memaki murka. Kurasa Benny tak siap dengan kondisi seperti sekarang. Kondisi kritis, kondisi yang memaksa kami berjuang merangkak dari lubang kematian.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 09, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

5 Orang TerakhirWhere stories live. Discover now