I | The Presence of Elvern Vaan

4.8K 225 7
                                    

Suasana terasa begitu sunyi, hanya ada suara detik jarum jam yang terdengar—Ailsa merasa sulit untuk memejamkan matanya. Padahal waktu sudah memasuki pergantian hari. Ailsa mengembuskan napasnya dengan pelan. Teringat dulu ketika dia masih tinggal bersama ibunya, saat dia akan memulai menyelam ke dalam mimpinya, Orla tak pernah absen barang sekali saja untuk menceritakan sebuah dongeng-dongeng tentang kerajaan, sebuah kota tersembunyi, tempat di mana peri hidup, pangeran dan putri yang berada di kerajaan—serta nenek sihir yang jahat dengan segala aksinya. Ailsa sejak kecil selalu disuguhkan banyak berbagai macam cerita semacam itu. Namun, sejak Orla tiada dan dia tinggal bersama dengan Valerie, Ailsa tidak lagi mendengar kisah-kisah dongeng semacam itu, bahkan sampai di usia Ailsa yang sudah menginjak enam belas tahun sekarang, tentu tidak mungkin Valerie menemaninya tidur serta membacakannya sebuah dongeng lagi.

Terakhir kali Valerie bercerita, yaitu saat usianya menginjak sepuluh tahun.

Tentang Neverley Blue Soil.

Masih dengan mata terbuka, menatap langit kamar dengan berbagai macam pertanyaan di kepala. Bahkan sampai hari ini, tidak ada sesuatu yang terjadi seperti apa yang Valerie katakan. Ailsa tidak pernah mendapatkan jawaban dari segala pertanyaannya.

Gadis itu memutuskan untuk keluar dari kamar menuju ruang perpustakaan. Untuk sampai ke sana, Ailsa harus menyelusuri lorong demi lorong yang ada karena tempatnya memang berada di ujung ruangan, berharap juga ruangan itu tidak terkunci. Ailsa berbelok pada sebuah ruangan sepi nan minim penerangan itu, dia segera masuk dan mencari di mana letak buku berjudul Neverley Blue Soil—kisah kerajaan tanah biru yang belum dia selesaikan.

Ah, ini bukunya.”

Ailsa tersenyum puas. Mengusap buku tebal yang tampilannya masih terlihat cantik di sana. Sudah lama rasanya tidak menyentuh buku tersebut. Meski sudah lama sekali tidak melihat buku tersebut, keadaannya benar-benar tidak kotor, dan masih terjaga sebab mungkin Valerie rajin membersihkan ruangan perpustakaannya.

Ailsa mulai membuka lembar pertama, di mana ada sebuah gambar kerajaan Neverley dengan nuansa biru dan emas di tengah sebuah hutan—jauh dari pedesaan, persis seperti yang dikatakan orang-orang. Ailsa membuka kembali lembar berikutnya. Sepertinya dia akan membaca ulang cerita itu, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir Valerie yang menceritakannya.
Ailsa kemudian membawa bukunya kembali ke kamar.

Sampai di kamar, gadis itu duduk di tepi ranjang. Dia juga sudah mengunci kamarnya. Lantas dia bersandar pada kepala ranjang dan mulai kembali membaca kata demi kata yang ada. Ailsa terhanyut sampai tak menyadari bahwa angin malam terasa lebih kencang dari sebelumnya. Tirai jendelanya tersibak beberapa kali, lampu di kamarnya juga kian meredup, tetapi Ailsa benar-benar serius dengan kegiatannya.

“Kau sungguh penasaran tentangku, ya?”

Ailsa tersentak saat suara asing menyapa rungunya. Ia terbelalak melihat sosok lelaki bertubuh tinggi dengan pakaian yang tak biasa. Sebuah jas hitam bergaris putih dengan renda tipis pada lehernya. Rambutnya hitam kelam, matanya berwarna biru safir dengan bibir tebal ranum berwarna merah muda.

Ailsa dibuat terdiam di tempatnya.

“K-kau—”

“Elvern Vaan.” Lelaki itu tersenyum, manis sekali. Sedikit menghela lelah, dia bersandar pada jendela kamar si gadis dengan dua tangan terlipat di dada. Tatapannya mampu membuat Ailsa terpana dan takut dalam satu waktu. Jelas saja, dia masih memproses yang terjadi. Semua yang tengah dia saksikan jelas terlihat tidak masuk akal.

Bagaimana bisa?

Ailsa menggelengkan kepalanya. Dia sedang mencoba waras. Ini pasti hanya mimpi. Dia mencoba mencubit pipinya, tetapi terasa perih. Elvern yang melihat itu tertawa ringan.

NEVERLEY ; An Immortal DreamKde žijí příběhy. Začni objevovat