28. Makna Sebuah Panggilan

4.4K 209 2
                                    

Panggilan sayang bukan berarti sayang
Panggilan cintapun tak berarti cinta
Karena cinta dan sayang belum mampu ku berikan padamu

☆Hasna Kamila Firdaus☆

***

Aku dan Bunda menghidangkan menu makan malam di atas meja makan. Aku menyusun empat piring sesuai dengan letak kursi masing-masing. Menu makan malamnya, sayur asam buatan Bunda, dan udang goreng. Aku hanya membantu sedikit dalam memasak, Bundalah yang paling berperan, aku masih dalam tahap belajar masak biar bisa seperti Bunda.

Aku dan Bunda sudah duduk di ruang makan, tak lama kemudian Ayah dan Kamil menyusul. Bunda mengambilkan nasi buat Ayah secukupnya, dan menambahkan lauk yang Ayah inginkan. Sedangkan Kamil mengambil nasinya sendiri, sebab itulah Bunda langsung menegurku.

"Lain kali kamu harus melayani suamimu Neng kalau mau makan, sekarang surga kamu ada di suamimu."tegur Bunda.

"Enggak apa-apa Bun, aku bisa ngambil sendiri."Kamil berusaha membelaku.

"Tuh kan Bund, Kamil bisa ngambil sendiri."aku tersenyum lega.

"Kamu manggil suamimu tanpa sebutan Aa', Bang, Kakak, atau Mas ?"Bunda melohok mengalihkan pembicaraan awal.

Ayah dan Kamil seketika menghentikan tangannya yang akan menyuap nasi. Ayah dan Bunda mendelik ke arahku, aku menggigit bibirku karena bingung harus menjawab apa ?

"Astagfirullah, Neng."Ayah mengela napas.

"Dia suami kamu, kamu harus hormat sama dia, beri dia panggilan yang baik. Selama ini Bundamu enggak pernah menyebut nama Ayah secara langsung."Ayah menceramahiku.

Ayah dan Bunda kompak menggelengkan kepala. Kamil melirik ke arahku sambil tersenyum renyah. Kali ini aku kalah,dia yang menang. Puas sekali dia menyaksikan aku di ceramahi orangtuaku.

"Namanya belum terbiasa Yah, Bun."kataku, berusaha membela diri.

"Pokonya Bunda enggak mau tahu, mulai sekarang panggil Nak Kamil sebaik mungkin layaknya suami kamu."tegas Bunda.

"Ya Bunda, aku bakalan panggil dia Kakak."aku mengiyakan permintaan Bunda meski terpaksa.

Kamil menatapku tak yakin dengan apa yang ku ucapkan, dia tahu sebenarnya aku masih berat memanggilnya Kakak, aku terlalu terbiasa dengan panggilan Kamil. Usiaku dan dia juga  beda 3 tahun, aku 23 tahun sedangkan dia 26 tahun, sudah seharusnya aku panggil dia dengan sebutan yang lebih layak, terlebih dia suamiku.

Ayah dan Bunda tak lagi membahas soal panggilanku untuk Kamil, mereka percaya karena aku sudah mengiyakan merubah kebiasaan buruk ini. Makan malam berlangsung tanpa di barengi sebuah obrolan, Islam memang telah mengajarkan adab makan yang baik, sebab itulah kami mengakhiri obrolan ini.

Selesai makan, aku membereskan piring-piring ini, aku membawanya ke dapur. Aku melarang Bunda membereskan semua ini, aku menyuruhnya istirahat, Bundapun menuruti keinginanku. Aku mencuci piring-piring kotor di wastafel, aku mulai membasahi spons yang sudah ditetesi sabun, aku menekan-nekan sponsnya sampai berbusa, barulah menggosok piring itu satu-persatu. Tiba-tiba Kamil datang mengagetkaanku.

"Aihhhh."aku terkaget.

Tangan Kamil mulai membilas piring yang sudah aku gosok dengan spons.

Ahlan Wa Sahlan Kekasih Halal [Proses Revisi] ✔Where stories live. Discover now