1. Empat puluh kali khatam

9.6K 194 9
                                    

Sudah tujuh hari ia diam dimasjid Nabawi. Siang malam ia menanti diri, larut dalam munajad dan taqarrub kepada ilahi. Ia ikhtikaf di bagian selatan masjid, agak jauh dari Raudhah tapi masih termasuk shaf bagian depan. Ia pilih dekat tiang yang membuatnya aman tinggal siang malam di dalam masjid Nabawi. Ia duduk bersila menghadap kiblat. Matanya terpejam sementara mulutnya terus menggunakan ayat ayat suci Al Qur'an. Ia hanya menghentikan bacaannya jika adzan dan Iqamah dikumandangkan. Juga ketika shalat didirikan. Usai shalat ia akan larut dalam dzkir, shalat Sunnah lalu kembali lirih melantunkan ayat ayat suci Al-Quran dengan hafalan. Mukanya tampak tirus dan sedih. Air matanya bercucuran.

Memasuki hari kedelapan, Ali teman satu kamarnya di asrama jamiyyatul Burr mengunjungi nya. Ali mengingatkan bahwa ia sudah terlalu lama iktikaf.

Ini bukan ramadhan, mi ayolah pulang. Penuhi hak tubuhmu untuk istirahat. Bukankah kau harus membuat proposal tesis mastermu. Doktor Imad, dosen Ushul fiqh sudah menanyakanmu tiga kali.

Aku tidak akan membatalkan iktikafku sebelum empat puluh khataman. Jawabnya tenang
Empat puluh khataman apa ???

Empat puluh kali khataman membaca Alquran dengan hafal.
Edan kamu, mi. Jangan menyiksa diri, nanti kamu bisa sakit.
Aku bangga jika aku sakit karena aku membaca kalamnya.
Sekarang sudah berapa khataman???
Dua belas jawabnya dengan tenang.

Edan. Edan kamu, mi masih dua puluh delapan kali lagi. Berat itu, mi. Kau jangan menyiksa dirimu, mi. Lima hari khatam itu sudah sangat bangus, mi. Nggak ada yang bisa mi, dan belum pernah ada ulama yang iktikafku membaca empat puluh khatam Al-Qur'an.

Kau jangan meremehkan para ulama, Li. Nggak usah yang salaf, terlalu jauh, yang agak dekat saja, kyai munawwir Krapyak pernah tidak kemana-mana di Makkah, mungkin beliau iktikafku di Masjidil haram, dan beliau menyelesaikan empat puluh kali khatam membaca Alquran tiga puluh juz dengan hafalan alias bil ghaib, tidak bin nadhar!".

Itu terlalu memaksakan diri, nggak baik, mi!.
Sudah, kamu pulang saja ke asrama, kaya setan saja kamu ngganggu orang iktikafku. Kau bilang aku nggak nyunnah, kamu yang edan, apa kamu lupa ashhabus sudah yang di zaman nabi siang malam ada di beranda masjid Nabawi?".

Aku nggak bermaksud ngganggu kamu, mi. Aku hanya mikir kesehatan mu, mi.!"
Ssssssttttt. Sudah, sana jangan ganggu aku!"
Sebentar, mi. Satu kalimat saja. Aku sama Hamza mau ke Tabuk. Mau lihat tempat yang terkenal dalam perang Tabuk itu. Kau tidak mau ikut.?"

Ia menggeleng dan mengisyaratkan agar Ali segera pergi.
Ali beringsut meninggalkan teman sekamarnya yang jiga ia kenal sangat teguh memegang azzamnya. Ali melihat jam tangannya. Masih agak pagi. Jam sepuluh ia harus kembali ke asrama ia ada janji dengan Hamza m. Bardakoglu, teman sekelasnya dari Turki dan azim Khan untuk bersama-sama tadabbur sejarah Islam ke Tabuk.

Hamza berjalan mondar-mandir diruang tunggu prince Mohammed Bin Abdulaziz Hospital. Ada banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya ada dua hal besar yang ia pikirkan.

Pertama apa yang terjadi pada Fahmi sesungguhnya? Apakah murni karena kelelahan hingga Fahmi sampai pingsan dengan hidung berdarah? Ataukah ada penyakit lain? Apakah Fahmi hanya sakit ringan ataukah sakit berat? Dan apa yang menyebabkan Fahmi sedemikan Kukuh tidak akan membatalkan iktikafnya di masjid Nabawi kecuali telah khatam Al-Qur'an empat puluh khatam dengan hafalan?

Fahmi memang telah hafal Al-Qur'an sebelum masuk universitas Islam Madinah. Apakah murni hanya karena Fahmi ingin. Meyakinkan hafalannya, ia ingin mengokohkan hafalan Alquran nya dengan khatam empat puluh kali, yang menurut cerita Ali, Fahmi ingin meniru ulama dari Yogyakarta yaitu Syaikh Munawwir Krapyak. Apakah murni karena itu, ataukah Fahmi menghadapi sebuah masalah pelik hingga ia melarikan diri atau tepatnya menghibur diri dengan iktikaf di masjid seperti itu?

"Ya Nabi salaam alaika
Ya Rasulullah Salaam alaika
Ya Habibi Salaam alaika
Shalawat illah 'alaika"

Ali yang mendengar Hamzah melantunkan shalawat seketika tanpa sadar mengikutinya. Mereka berdua berjalan terus kedalam lalu kebagian selatan. Ali mengisyaratkan arah dimana teman satu kamarnya itu sudah setengah bulan iktikaf.

Ali menunjuk sebuah tiang. Hamzah melihat sosok memakai jalabiyah coklat muda duduk menghadap kiblat bersandar dituang itu. Kepalanya menunduk.

"Seperti nya dia tertidur", ujar Hamzah mendekat di ikuti Ali.
Ali menggoyangkan pundak teman sekamarnya itu agar bangun. Tapi Sosok itu tetap diam.

Tiba tiba Hamzah menangkap ada yang menetes dari hidung Fahmi. Tetesan itu mengenai jalabiyah coklat muda. Tetesan itu adalah darah.

"Inna lillah, Ali, darah. Darah menetes dari hidung nya "., Ali kaget melihatnya.

Hamzah bergegas ke pintu masjid. Ali meluruskan tubuh Fahmi dan meletakkan kepala Fahmi di pangkuannya. Ia memandangi wajah sahabat nya yang pucat, hidungnya terus mengeluarkan darah secara perlahan.

.
.
.
.

Habiburrahman Al shirazy

API TAUHID (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang