-01-

48 9 0
                                    

Aku hanya seorang penulis freelance, watakku yang tak suka terikat, menurun dari ayahku. Kebebasan selalu memberiku celah untuk pergi kemanapun yang kakiku inginkan.

Termasuk, membawaku pada Jimin.

Hari ini aku melihatnya di kedai Hobi Oppa, mungkin seperti biasa, Jimin akan kembali bekerja. Padahal keadaannya masih belum stabil, dasar pria itu!

Perlahan aku mendekatinya, yang sesekali tersenyum sambil menatapku heran. Ya Tuhan, aku merindukan senyuman itu, senyuman yang beberapa hari menghilang dari duniaku. Alih-alih memikirkan perubahan sifat Jimin yang drastis, aku justru senang karena mungkin akhirnya ia bisa mengerti.

Aku menyeka airmataku yang entah kenapa menetes begitu saja.

"Hyung, apa kau mengenal wanita itu?" aku mengerutkan dahi ketika samar kudengar Jimin bertanya sambil menunjukku menggunakan dagunya. Rupanya aku salah, Jimin bukanlah mengerti, melainkan sudah melupakanku, ya, harusnya aku sadar diri.

"Ya, dia..." Hobi Oppa menggantungkan kalimatnya, menatap Jimin dengan tatapan yang tak bisa diartikan siapapun.

Seketika hening, mereka saling bersitatap. Entah mereka sedang melakukan telepati, berbicara dengan suara batin, mungkin.

"Annyeong" sapaku, mengambil alih fokus mereka. Hobi Oppa tampak memalingkan pandangnya dariku, aku tahu ia kecewa. Haah, aku membuang napas perlahan, berusaha tetap tersenyum.

"Eoh, annyeong. Kau mau memesan apa?" Jimin bertanya dengan senyum ramahnya, seperti biasa, membuatku semakin merasa bersalah. Akan lebih baik jika ia membentakku sekarang, mengeluarkan semua kemarahan dan sakit hatinya.

"Ehm, bisakah kita mengobrol sebentar...di sana?" tanyaku hati-hati, menunjuk kursi yang terletak di pojok ruangan. Jimin tampak heran, dengan alisnya yang naik sebelah segagai ciri khas. Tak lama, ia mulai mengangguk, berjalan mendahuluiku.

"Silahkan duduk!" ucap Jimin sedikit tersenyum, aku menuruti ucapannya. Jimin juga duduk di depanku, membuatku dapat secara intens menatap wajahnya. Perasaan ini masih sama seperti dulu, seperti saat pertama kali menatapnya. Debaran ini juga masih sama seperti dulu, seperti saat-saat bersamanya.

Aku memang masih mencintainya.

"Jim, kenapa kau tak marah padaku?" tanyaku tanpa basa-basi, membuat kerutan di dahi Jimin. Ada apa dengannya hari ini? Kenapa aku merasa Jimin sangat aneh?

"Maksudmu? Memangnya mengapa aku harus marah padamu? Apa kau berbuat salah padaku?" Jimin bertanya bertubi-tubi, aku mencoba tenang. Sebenarnya, apa yang membuat Jimin dengan mudah melupakanku? Apa kecelakaan hari itu membuatnya kehilangan ingatan?

Jika itu benar, lantas bagaimana aku bisa meluruskan semua masalah ini?

Aku tak ingin kehilangan Jimin.

"Tolong maafkan aku, semua yang terjadi bukanlah sebuah kesengajaan. Aku--aku..." Ya Tuhan, mengapa aku tak bisa mengatakan bahwa aku dipaksa untuk menerimanya. Aku tak pernah sedikitpun berniat untuk meninggalkan Jimin.

Aku harus mengatakannya, atau tidak pernah sama sekali.

"Akkhh" aku terperangah, mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk.

"Ap-apa yang terjadi, Jimin?" spontan aku beralih ke samping Jimin. Melihatnya memegang kepala bagian belakang sembari meringis kesakitan membuatku khawatir. Aku takut terjadi sesuatu pada Jimin.

Sontak aku berteriak pada Hobi Oppa, memintanya untuk segera membawa Jimin ke rumah sakit.

***

Taehyung meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas meja. Sedikit kesal, aku menatap tajam kedua netra kecoklatan miliknya. Apa yang ia dapatkan dengan melakukan semua ini?

Taehyung memang tak pernah bisa dimengerti siapapun.

"Jadi, ada perlu apa?" tanyanya enteng, menyenderkan punggungnya lalu menumpangkan kaki. Aku mendelik, sebenarnya enggan sekali berbicara dengan pria sepertinya. Aku tak akan pernah mendapat penyelesaian atas persoalan ini jika hanya mengandalkan penjelasannya.

"Ada perlu apa? Kau bilang ada perlu apa? Apa kau tak tahu malu, Taehyung-ssi? Setelah membuat keadaan menjadi rumit seperti ini, kau bersikap seolah tak melakukan apapun? Woah, hebat sekali." penuh emosi, aku menyinggungnya dengan amarah yang menggebu.

Taehyung hanya tersenyum, melipat kedua tangannya di depan dada.

"Lalu apa yang kau mau? Apa kau ingin aku segera menikahimu?" tanyanya, lagi-lagi dengan wajah tanpa dosa. Aku mendecih kesal, membuang napasku kasar.

"Aku ingin kau katakan pada semua orang keadaan yang sebenarnya!" tegasku, dan lagi-lagi ia hanya tersenyum, membuatku semakin kesal.

"Kau ingin aku mengatakan kebenarannya? Kebenaran bahwa aku yang memaksamu untuk melakukan kebohongan ini agar harta warisan ayahku jatuh kepadaku? Dan setelah itu kau akan kembali pada Jimin si pengecut itu? Lalu, apa yang akan aku dapatkan?" cerocosnya, argh, kepalaku terasa pusing mendengar ucapannya.

Memijit pelipisku pelan, aku menyenderkan punggungku. Ah, bodoh. Kenapa aku tak merekam ucapannya barusan? Ya Tuhan, Jiya. Kenapa tak terpikirkan sedari tadi olehku?

Astaga, kepalaku semakin berdenyut memikirkannya.

"Dengar ya, Jung Jiya! Kau tak akan pernah bisa lepas dariku, sekuat apapun kau berusaha." yakinnya, setelahnya, ia berlalu begitu saja. Ah, sial! Harusnya aku bersikap tegas dari awal.

To Be Continued
Maaf lama update

PreciousWhere stories live. Discover now