Bridge

114 21 2
                                        

Sebuah jembatan yang sangat sepi sangat cocok untuk berteriak dan melampiaskan semua masalah yang kita miliki.

Ya.

Dan disini lah seorang Rezia berada sekarang. Ditepi sebuah jembatan yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya.

Beberapa menit yang lalu Rezia mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata tanpa tujuan, dan sekarang berakhirlah dia di jempatan ini.

Pikiran Rezia sangat kacau sekarang ini. Ibaratkan benang kusut yang sulit sekali untuk diluruskan. Hatinya merasa tertampar mendengar penuturan papanya sendiri. Orang yang dia sayangi dan hormati dalam hidupnya

Kata-kata itu terus berputar didalam pikiran Rezia. Penuturan papanya itu sama sekali tidak bisa di terima oleh otaknya. Perlahan namun pasti, bulir air sialan itu mulai jatuh membasahi pipi Rezia.

Ya, Rezia menangis. Lagi dan lagi karena keluarganya sendiri. Rezia memang tidak pernah menangis dan menunjukkan sisi rapuh nya yang ini kepada orang tuanya, juga kepada sahabatnya.

"Aaaaaa..." Rezia berteriak sekencang mungkin meluapkan emosinya.

Keadaan jembatan yang sepi dan agak jauh dari perumahan membuat Rezia leluasa berteriak sekencang mungkin. Keadaan jempatan ini memang sangat sepi, tapi hal itu tidak membuat seorang Rezia takut. Emosi yang memuncak membuatnya tak memiliki rasa takut sedikit pun sekarang ini, karna dia memang membutuhkan kan keadaan tenang saat ini. Rezia dengan mudah menenangkan diri ditempat yang hening seperti ini.

Padahal bisa saja kan ada orang yang berniat jahat kepadanya sekarang. Bisa saja orang itu menikam Rezia dari belakang lalu membawa kabur motornya, dan yang terakhir memutilasi Rezia. Nothing impossible, right?

Larut dalam keheningan, kembali lintasan kejadian tadi berputar di pikiran Rezia. Lagi. Air matanya kembali mengalir tanpa dikomandoi.

----------------------------------------------------------
Rezia POV

Fikiran gue berkecamuk, dada gue sesak mengingat kejadian tadi. Tapi itulah kenyataan yang harus gue hadapi.

"Apa yang harus gue lakuin?" Lirih gue

Kenapa gue ngerasa ini semua terasa gak adil?

Kenapa tuhan sangat tidak adil sama gue?

Tunggu
Tadi gue menyalahkan tuhan? Apa pantas?

"Rezia bego, tolol" maki gue ke diri gue sendiri

Gila kali gue kalau nyalahin tuhan. Ini semua hanya ujian darinya. Gini-gini gue masih inget agama, masih mengandalkan otak dengan baik. Gue bukan orang bodoh yang menyalahkan tuhan atas apa yang terjadi dalam hidup.

Tuhan gak salah dan gak akan pernah salah. Dia hanya akan memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya, dan gue percaya itu.

Lantas gue harus melampiaskan ini semua kepada siapa?

Gue benar-benar berharap agar tuhan memberikan penyelesaian atas apa yang dialaminya secepat mungkin.

"Kapan ini semua akan berakhir?" gumam gue

"Aaaaaa...." gue kembali berteriak kencang. Lagian memang tempat ini seperti tidak terdapat kehidupan.

Tiba-tiba gue teringat oma

"Oma cepat sadar ya, Rezia capek selalu disalahin, selalu dituduh pembunuh, tolongin Rezia oma" hancur pertahanan gue.

"Rezia bisa bersikap cuek, dingin seolah gak peduli dengan yang mereka ucapkan, tapi semakin Rezia tahan malah semakin sesak oma. Bahkan papa sama sekali gak percaya Rezia, bahkan Rezia juga di cap pembunuh sama papa oma. Oma cepat sadar ya, Rezia kangen" Isak gue mulai terdengar

I'M BADWhere stories live. Discover now