0.1

4.8K 618 41
                                    

Sirine ambulance meraung dengan keras, cahaya mobil pembawa pasien itu menyilaukan tetapi tidak ada yang peduli ketika mereka berlari pintu belakang kendaraan bersama hospital bed dan sepasukan paramedis.

"Laki-laki berumur pertengahan dua puluh dengan luka tembak di dada, lima tusukan dan beberapa tulang yang patah. Sadar dan masih bernafas tetapi tidak dapat berbicara, tidak ada identitas yang ditemukan," kata paramedis.

"Ada gelang medis?" tanya Felix, ketika ia memeriksa pasien barunya itu.

Dia nampaknya seusia Felix, rambutnya yang hitam menempel di keningnya karena darah, tetapi bahkan itu tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa pria ini tampan. Matanya hitam dan dalam, bahkan ketika dia berada di ambang kehilangan kesadaran. Bibirnya terukir sempurna, bahkan ketika kehilangan warna karena dia kehilangan begitu banyak oksigen.

Kaus hitamnya benar-benar basah oleh darah, dari luka tusukan di bahu, perut, dan dada atas; not to mention darah yang dia muntahkan. Hal itu sudah cukup buruk, tapi hal yang paling membuat Felix khawatir adalah luka tembak di dada kanan pria itu, luka itu bahkan masih mengeluarkan darah ketika sudah dibalut dengan kasa hemostatik. Pria ini akan segera mati jika Felix tidak melakukan sesuatu.

"Kami Tidak dapat menemukan apa pun," paramedis itu menggelengkan kepalanya. “Bahkan tidak ada ponsel atau dompet. He had absolutely
nothing."

"Apa ruang operasinya sudah siap?" Felix berteriak pada salah satu koasnya sembari memperhatikan lebih detail luka pasiennya.

"Ruang 5 siap!" Ryujin berteriak.

Felix serta merta segera mendorong hospital bed ke ruang operasi diikuti tim traumanya.

*
*
*

Ia baru selesai mencuci tangannya di scrub room ketika Jisung masuk dengan sedikit panik dan kehabisan nafas. "Lix, dengar. Woojin hyung ingin kau pergi ke ruang 2, kita punya pasien darurat disana. Aku akan ambil alih pasien ini," kata rekannya itu, nadanya gugup dan mendesak.

Apa yang dikatakan temannya itu tidak terduga dan sama sekali tidak masuk akal hingga Felix pada awalnya mengira dokter ortopedi itu sedang bermain-main dengannya.

"Apakah kau tidak lihat aku juga punya kasus darurat di sini?" Felix memutar matanya.

"Aku bilang aku akan mengambil alih. Kita punya pasien kritis di sana. Terluka karena kecelakaan lalu lintas, berpotensi fatal," Jisung berkata, nada suaranya menjadi lebih gugup.

Aku juga punya pasien kritis disini," bentak Felix, mengenakan topi, masker, dan sarung tangan. "Dan aku tahu kau bisa mengatasi trauma juga, tetapi kondisi pasien ini rumit. Lebih baik jika aku menanganinya."

"Kau tidak mengerti. Ini perintah Woojin, bukan keinginanku, "kata Jisung, hampir memohon.

"Aku tidak peduli tentang perintah Woojin ketika aku punya pasien kritis sendiri," kata Felix. "Woojin dapat melakukan operasi sendiri, dan kau dapat membantunya."

"Kau ahli bedah trauma terbaik di rumah sakit ini," desak. Tidak
setiap hari Jisung memujinya, jadi mungkin dia serius, tetapi pikiran Felix sudah penuh dengan pasien berdarah di meja operasinya. "Lix, kumohon. Dia adalah perdana menteri."

Felix tidak bisa membuang waktu berdebat dengan Jisung di sini, jadi dia membalikkan tubuhnya untuk menatap temannya itu. Felix tahu iaia tidak akan pernah bisa mengintimidasi manusia jelmaan tupai seperti Jisung tapi dia tidak akan pernah berkompromi jika itu terkait nyawa pasiennya.

"Bahkan jika dia perdana menteri, pasienku datang lebih dulu dan dia sekarat. Jika kau masih menahanku disini dia mungkin tidak tertolong. I’m going inside," Felix memberikan ultimatum terakhirnya dan memasuki ruang operasi, membanting pintu di depan wajah Jisung.

whole life story || hyunlixWhere stories live. Discover now