Setelah agak lama, Nick kembali menoleh pada yang lain.

“Sekarang?” Nadia menyembur, sedikit tidak percaya pada suaranya. “Tapi kan ini sudah malam.”

“Iya, lagipula sepertinya di luar sangat dingin” pancaran mata Thalia memancarkan ketidaksetujuan. “Aku bisa kedinginan.”

“Peduli amat!” Nick bersorak tidak acuh. “Kalau saja aku tidak melindungimu tadi mungkin kau sudah mati. Ini seharusnya menjadi masalahmu saja, karena kau kita semua jadi seperti ini.”

Sesaat kemudian, Nick sadar apa yang ia ucapkan.

Thalia hanya menunduk menyembunyikan raut mukanya yang berubah setelah mendengar ucapan Nick. Nadia hanya memandang bingung dua orang itu, sedangkan Ben terlihat ingin menyentak Nick balik tapi elusan Percy di lengannya membuatnya urung.

“Jadi maumu bagaimana?” setelah suasana agak tenang, Percy kembali berbicara.

Nick menggigit pipi bagian dalamnya berpikir. Lalu sedetik kemudian berucap, “Kita keluar sekarang saja! Semakin lama kita disini, semakin lama kita kembali.”

Benar perkataan Nick, semakin mengulur berarti semakin lama. Percy mengangguk setuju atas perkataan Nick yang satu ini. Ia lalu menghela napas panjang sebelum berucap. “Benar kata Nick, kita sebaiknya pergi sekarang saja.”

Nick merasa perlu meralat kata-kata Percy barusan. Bukan sebaiknya, tapi HARUS!

Ben mendelik kaget mendengar ucapan Percy yang sangat mendukung Nick itu, sementara Thalia mendongakkan kepalanya, juga sedikit kaget.

“Kau tidak salah berucap?” pandangan Ben bertumpu pada Percy dan tidak percaya.

Percy hanya diam saja tapi sinar matanya memberitahu “Tidak.”

“Sekarang atau besok sama saja kan?” kata Nick retoris. Ia lalu mengangkat tongkatnya untuk memberi sedikit penerangan di atas, karena itu tangannya kembali berdenyut. Setelah sinar terpancar sampai depan pintu, ia menoleh pada Nadia.

“Ayo” ajak Nick sambil meraih tangan Nadia, tak peduli pada tampang Ben yang masih menahan geram.

Sinar lampu kepala tongkat yang berpijar benar-benar membantu mereka menyusuri jalanan lembap nan gelap di hutan kecil. Nadia berjalan di samping Nick dengan tangan yang masih digenggam oleh Nick. Sementara tiga orang di belakangnya tidak Nick pedulikan.

Jalan setapak yang mereka lalui penuh dengan liku-liku, tanjakan, dan turunan yang tidak terduga. Ben yang berada pada posisi luar mengawasi sekitarnya dengan penuh kehati-hatian, sekawanan kunang-kunang dan kelelawar tertangkap matanya. Suara jangrik serta kepakan sayap burung hantu ikut meramaikan langkah kaki mereka.

“Nick” Nadia memecah kesunyian, ia menoleh pada Nick yang tetap fokus pada langkahnya. “Kenapa tidak kita cari di google saja? Siapa tahu informasi tongkat itu ada disana.”

Tak ada yang menyangka kalau ide itu akan terlintas di benak Nadia. Semua terlalu kalut sampai tak terpikir hal seperti itu.

“Boleh juga” Thalia menyahut di belakang. Langkah mereka berhenti bersamaan─kecuali Nick, ia sibuk berdecak karena langkahnya dihentikan Nadia secara tiba-tiba.

Di malam yang pekat ini, di bawah pohon pillow yang rindang, ditemani sinar tongkat dan langit yang gelap, mereka duduk melingkar mengistirahatkan raga dan pikiran. Sebenarnya Nick tidak setuju, tapi melihat keadaan Nadia yang kelelahan membuatnya menurut. Lagipula, tangannya sudah terlalu pegal menopang berat tongkat di tangannya, kalau semakin di paksakan bisa-bisa lukanya semakin berdenyut.

Thalia menopang sebelah kakinya di pangkuan Ben, satu tangannya melapisi buku tersebut, sementara punggungnya menyandar pada batang pohon yang lumayan besar. Percy hanya merenung memandangi ipad-nya dengan tatapan nanar. Sementara Nick dan Nadia memilih pohon lain, Nadia sudah memejamkan matanya, ia terlihat nyaman dengan meletakkan kepalanya di pangkuan Nick. Tongkatnya Nick taruh di sampingnya.

Buku Ramalan SintaWhere stories live. Discover now