PROLOG

787 13 11
                                    

@rinasetianingrum__writer

NOTE: tulisan ini dilindungi hak cipta (c)


Bali, 17 Agustus 2019

Usai berfoto, Sarah melepas tas Mute muse, mencopot sneakers Yeezy Boost dan menanggalkan skinny jeans yang baru saja menyulap penampilannya bak Yoo In Na.

Dering telpon kembali terdengar, membuat gerakannya sedikit gugup. Cepat dia mengganti sweater TNGT dengan seragam SPG, dan bergegas keluar toilet menuju pintu kafe.

Terik matahari dan uap laut menyengat, begitu dia mendorong pintu kaca. Pandangannya dipenuhi kertas merah putih yang masih menghias di sana-sini.

Dari tahun ke tahun, kertas-kertas itu berkibar layaknya dekorasi tahunan yang wajib pasang. Tanpa banyak yang mempertanyakan; benarkah kita sudah merdeka atau jangan-jangan ... makin terjajah?

Terjajah oleh sesama, akibat kesenjangan social yang lebih mencekam dari kemiskinan. Membuat kemewahan tampak begitu dekat, padahal kesejahteraan makin jauh terjangkau.

Sementara kecerdasan dan kealiman yang seharusnya mampu mengimbangi, kian hari malah condong membuat orang saling membodohi atau dibodohi nafsunya sendiri.

Sarah segera menyurukan tubuh ke dalam taxi, sebelum sengat matahari menambah legam kulitnya. Dari balik kaca mobil, turis-turis asing dan lokal tampak keluar masuk restoran, yang marak di sepanjang jalan.

Semua mendambakan kemajuan, untuk mendapat kenyamanan. Mengembangkan industry, ekonomi, teknologi, infrastruktur, agama, pendidikan, demi perbaikan.

Namun upaya itu, ibarat menyuburkan pohon yang mati. Mereka sibuk menyambung ranting yang patah, tetapi lalai memperbaiki akar yang busuk. Akibatnya seberapapun kemajuan itu dicapai, seperti membangun gedung di tanah longsor.

Sesaat, Sarah menyandarkan kepalanya di jok belakang. Kesejukan AC membuat matanya terpejam dan nafasnya terembus panjang.

Beberapa orang yang menyadari akar busuk itu, berupaya melawan arus. Sementara yang rentan akan hanyut, atau akhirnya melarikan diri seperti dirinya.

Namun, kemanapun dia lari, penjajahan itu telah merajai setiap sudut bumi. Ia tak nampak seperti musuh yang menghardik dengan senjata, melainkan bergerilya dalam darah. Mengotori hati, meski mulut sibuk mengagungkan Ilahi. Memanipulasi isi kepala, meski gelar berderet bak kereta.

Jadilah akhirnya kedaulatan itu tinggal symbol, yang ditandai kertas warna-warni dan caption; NKRI harga mati!.

Kesejukan AC nyaris membuat Sarah tertidur. Dia baru ingat harus menelpon Bu Tasya yang sejak tadi menghubungi.

Pemilik butik itu mengatakan, sedang dalam perjalanan menuju gallery.

Mendengar boss-nya sebentar lagi tiba, Sarah meminta sopir menambah kecepatan.

-----

Beruntung, sedan merah Boss-nya belum bertengger di muka toko. Sarah langsung mengeluarkan kunci dan membuka rolling door. Dikeluarkannya semua atribut dari dalam ransel dan dipajangnya kembali ke tempat semula. Dirapikannya bagian yang sedikit kusut dan dicermatinya. Setelah yakin semua beres, barulah ia duduk di belakang kasir.

Dengan lincah, jarinya mengunggah video dan foto-foto yang baru diambil. Baru semenit postingan itu tayang, sebuah komentar masuk.

Siapa lagi kalau bukan dari Edys!. Musuh bebuyutannya sejak SMA itu, memang tak pernah absen memantau. Dari semenjak dia berangkat ke Singapore, hingga kini terdampar di Bali.

"Selamat Hari Merdekaa!. Cantik bangeet, gue kira artis Korea ... Kemana aja baru muncul?"

Sarah membalas dengan emoticon senyum getir.

"Kalo ke Jakarta, ketemuan, yuk? Lo, udah nggak marah kan sama gue? Hehehe. By the way gue baru merit sama Doni."

Kalimat terakhir itu membuat Sarah sedikit tersentak.

Padahal seharusnya dia tidak terkejut. Sejak SMA pun, dia sudah tahu Edys dan Doni pacaran. Akan tetapi, mendengar akhirnya mereka menikah, tetap saja membuat dadanya sesak.

Kalau bukan karena mereka, mungkin dirinya tak harus duduk di belakang meja kasir ini. Mungkin saat ini dia sudah menjadi ...

Ah, entahlah. Sejak dulu dia juga tidak tahu mau jadi apa. Yang pasti, dia tidak ingin menjadi seperti Edys, Janet, Jaka, Anji, Kekey atau Saskia.

Andai tidak gegabah, bisa jadi sekarang dia juga sudah berhasil mewujudkan cita-cita bersama Reno. Sampai hari ini, anak itu masih mengiriminya pesan, sekalipun jarang dia balas.

Sarah membaca komentar mereka. Semua antusias mengajaknya bertemu. Tentu saja bukan karena rindu, tetapi karena mereka ingin membuktikan, apakah yang dipamerkannya benar atau palsu.

Sejak kembali muncul di sosial media, Sarah berusaha menghindar. Hal itu membuat Edys and the gank makin penasaran. Mereka sempat ngotot ingin menghadiri pernikahannya dengan Bernd, ketika Sarah masih tinggal dengan lelaki paruh baya itu di Singapore.

Sarah berkelit, tidak mengadakan pesta dan akan langsung berbulan madu. Namun dia berjanji akan memperkenalkan suaminya itu, jika mereka sedang berada di Jakarta.

"Jadi kapan dong, ketemuan? By the way, lo udah gak idealis kayak dulu, kan?" gurau Janet.

Komentar yang menyindir kepribadiannya dulu, membuat Sarah mendengus pendek.

Anji, yang pernah mengatakan, orang idealis kebanyakan memandang orang lain munafik. Padahal yang mereka anggap munafik itu sebenarnya lebih realistis.

Ternyata diantara kedua kelompok tersebut, ada satu golongan lagi yang lebih memprihatinkan, yakni kumpulan orang yang terpaksa menjadi bagian sekalipun hati bertentangan.

Di kelompok itulah Sarah terjebak ambil peran. Menjadi bagian dari generasi yang penuh kebebasan, tetapi jauh dari kemerdekaan.

-----BERSAMBUNG----


#rinasetianingrum

#comfortinsilence

#novelindonesia

#novelromantis

#novelislami

#novelreligi

#tommysoeharto

#partaiberkarya

#soehartonesia

#naqhsabandi

#wattpadindonesia

#skenariofilm

#penulisindonesia

#penulisnovel

#penuliswattpad

#naskahfilm

#filmimdonesia

#wattpad

#wattpadstories

#wattpadstory

#wattpadbooks

#rekomendasiwattpadindo

#WattpadGroupIndonesia

#wattpadpromosi

#rekomendasiwattpad

#wattpadrecommendations


Comfort In SilenceWhere stories live. Discover now