15. Arsalovers

Começar do início
                                    

*

"Di sini nggak cuma buat lari pagi aja. Tapi selain buat senam, ada pasar kaget juga, Bit. Jadi kamu bisa belanja atau wisata kuliner juga." Sambil berlari memutari lapangan, Abrar mendeskripsikan area lapangan olahraga Karang Taruna kepada Tsabit yang juga melakukan aktifitas yang sama.

"Oh gitu, ya Ka. Wah aku bisa sering-sering nih ke sini." Tsabit sumringah.

"Buat olahraga?"

"Bukan, buat wisata kulinernya." Lalu terkikik sambil memeletkan lidah. Abrar tertawa kecil menatap Tsabit. "Kamu tuh bisa aja."

Mereka sudah memutari tiga kali lapangan. Berbeda dengan Arsa yang turut bersama mereka, memilih berlari sendiri. Ia sudah menempuh sepuluh kali putaran. Wajarlah ya, Arsa seorang yang separuh hidupnya bergantung pada olahraga. Hampir semua jenis olahraga dia kuasai. Dari basket, sepak bola, taekwondo, muai thai, boxing dan masih banyak lagi. Jadi jangan heran kalau dia memiliki kesempurnaan pada posturnya. Semua itu mendukung ketampannya serta ketenerannya.

"Lo niat olahraga apa pacaran sih? Lelet banget." Arsa menyetarakan langkahnya beriringan dengan Tsabit dan Abrar. Entah datang darimana tahu-tahu ia sudah meneroboskan diri di tengahtengah antara istri dan kakaknya itu.

"Kamu nya aja yang getol. Lari tuh santai aja. Lari lari kecil aja." jawab Tsabit tidak kalah sewot.

"Bukan lari itu mah. Jalan cepet!" Celetuk Arsa mengusap peluh yang memenuhi keningnya menggunakan punggung tangan.

Baru sepuluh putaran saja, rambutnya sudah basah karena keringat. Tsabit yang melihatnya hanya bisa melongo samar. Sewaktu SMA, Tsabit pernah mengidolakan kakak kelasnya. Dia cowok favorite di sekolah. Dia jago basket. Dan yang Tsabit suka sekali kalau cowok itu sedang bermain basket. Bukan karena hal lain, melainkan karena ia suka melihat pria jika sedang berkeringat. Baginya, itu terlihat macho dan gagah. Dan pria idolanya itu persis sekali dengan pria yang kini berada disebelahnya. Arsa.

"Gimana mau sehat kalo larinya menye-menye kayak gitu. Lari kayak gue nih." pamer Arsa bergaya sok olahragawan hebat. Padahal lawan tiga preman aja K.O, umpat Tsabit. Tsabit hanya acuh terus berlari kecil. Malas meladeni kesombongan Arsa.

"Lo harus bisa. Biar badan lo sehat. Nggak kurus kayak gitu." Mata Arsa tertuju pada tubuh Tsabit. Buru-buru Tsabit mendelik tajam tak terima.

"Maksud kamu, saya kurus?"

"Iya lah. Coba deh sini tangan lo." Tanpa meminta izin Arsa langsung meraih pergelangan Tsabit. Ia tarik sedikit lengan jaket Tsabit hingga sedikit memperlihatkan pergelangan tangan. Ia satukan telunjuk dan jempol melingkari pergelangan tangan tersebut.

"Nih lo liat! Tangan lo gak ada setengahnya tangan gue masa. mini banget gitu."
Tsabit buru-buru melepas kasar tangannya dari perlakuan Arsa.

"Kamu ganteng-ganteng jangan gesrek juga bisa ga? wajarlah. Kamu tuh cowok. Gede tinggi pula. Kalo tangan saya sebesar ukuran tangan kamu, yang ada saya dikira popeye tau gak."

Bibir Arsa berkedut.

"Lagian, ini tuh postur ideal. Tinggi saya 160 centimeter. Begitu juga berat badan saya, 55. Itu termasuk standar ideal wanita Asia. Kamunya aja gak bisa bedain." Tsabit mulai sewot sendiri. Kalau kebanyakan wanita sekarang begitu anti jika disebut gemuk atau gendut. Tapi Tsabit justru sebaliknya. Ia lebih senang dikatakan gemuk ketimbang kurus. Karena tubuh gemuk menandakan jiwa yang kuat. Berbeda dengan gendut ya.
"Ukuran dada, ideal juga?"

Tsabit mengatupkan rahang sambil menyipit menatap Arsa. Arsa melihat Abrar berlari kecil mendahului dirinya dan Tsabit. Pasti dia jengah mendengar pertikaian Tsabit dan Arsa.

Tsabita IlanaOnde histórias criam vida. Descubra agora