Prolog

9 2 2
                                    

Sialan...

Tekanan yang dihasilkan dari ‘Resurrection’-nya itu membuat udara disekeliling kami menjadi lebih berat untuk dihirup.

  “Kalian semua, pergilah dari sini. Biar aku urus sisanya.”

  “Tidak. Kami tidak akan pergi, jika kau tidak ikut bersama kami.” Teriak Lisa dengan sekuat tenaga tanpa menghiraukan sisa napas yang ia punya.

  “Jangan bertindak bodoh!.” Teriakku. “Apa kali-”

Dengan cepat, Hildegard menghentikan pembicaraanku.
“Tua--”

JRASSHHH...

Diriku terkejut, melihat tubuh Hildegard tertusuk lemparan sebuah tombak kuning yang tajam. Aku hanya terdiam, melihatnya melesat jauh kebelakang kami.

  “Apa kalian dungu? Aku tidak ada waktu untuk mendengarkan ocehan kalian.” Teriak Greyfield dengan senyum haus kekuasaannya itu. “Apa kalian tahu perbedaan kekuatan kita sekarang ini?”

Diriku langsung menuju ketempat Hildegard terlempar. Sesaat setelah sampai, mataku menahan rasa sedih melihat tubuh tuanya yang lemah itu seperti tersalib di sebuah batu yang besar. Dengan cepat, kubawa turun Hildegrad agar diberi pertolongan pertama.

   “H-hentikan saja, Tuan.” Ujar Hildegard dengan suara yang lemah.

   “Sudah, kau diam saja.”  Ucapku keras sembari mencabut pelan pedang tadi dan berusaha menghentikan pendarahannya. “Hei, apa ada diantara kalian yang isa sihir medis?”

  “Ah, iya.” Jawab seseorang dari kejauhan.

BUKKK...

Hildegard mengepalkan tangannya tepat didepan dadaku. Tangan lemah yang berlumuran darah itu seakan masih ada semangat juang umtuk hidup.

  “T-tuan, tolong menangkan pertempuran ini. Karena cuma anda yang bisa menghentikan dia dan mengembalikan kejayaan kerajaan kita yang sudah lama runtuh.” Perasaan yang sudah diambang kematian. Namun, tidak membuat pelayanku ini untuk berhenti berbicara. “Sebagai Pangeran ke-17 Indonesia, anda wajib menjawab harapan saya in--”

UHUKKK...

Kepalan tangan Hildegard semakin kuat. Namun, aku bisa merasakannya. Tangannya yang bergetar pelan dan semakin dingin.

  “Tolong, kau jangan berbicara lagi, Hildegard. Dan sudah kubilang kan? Bahwa aku sudah melupakan hal itu. Lalu, satu hal lagi, kau tidak akan mati sekarang.” Diriku berusaha menyembunyikan ksedihan dan bersikap tegar.

  “Tidak, anda belum melupakannya dan tidak akan bisa melupakannya.” Ucap Hildegard dengan suaranya yang semakin melemah. “Tolong,berjuanglah demi bangsa kita. Hidup Indonesi-”.

Sebelum kata terakhirnya terucap, kulihat Hildegard tersenyum hangat seperti senyum seorang ayah kepada anaknya. Senyum seperti rasa puas karena telah memenuhi kewajibannya sebagai pelayan. Kepalan tangannya mulai melemah dan akhirnya jatuh. Diriku tak kuasa menahan kesedihan yang membendung ini.

  “Sudah cukup! Apa kalian sudah puas mengambil semua yang berharga bagiku? Keluarga, harta, kekasih, dan sekarang ini, satu-satunya orang bisa kupercaya.” Aku berteriak sekuat tenaga sembari menahan isakan tangisku. “ Apanya yang takdir? Kekuatan? Dan tekad? Aku sudah muak dengan semua ini. Akan kuhancurkan apa yang sudah kalian takdirkan.”

Langsung kupandangi Greyfield dengan penuh amarah. Dan termakan oleh kebencian. Dengan spontan, aura dari dalam diriku seperti hewan yang haus akan darah. Lisa dan yang lainnya terkejut, seakan mereka tidaklah lagi mengenal dengan diriku yang sekarang ini.

  “Lisa, ayo pergi.” Albert dengan cemas mulai menarik tangannya.

  “Tidak. Apa kalian mau meniggalkan Glenn sendirian melawan monster itu?.” Lisa berusaha melepaskan genggaman Albert. Dan mulai berlari ke arahku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Story that forgotten: The RebellionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang