Chapter 5

149 12 40
                                    

~ Menjadi pribadi yang luar biasa itu butuh waktu. Perlu disakiti, perlu air mata, perlu dihina dan perlu jam terbang yang teruji ~

Joe dengan malas mengangkat telepon yang mengganggu tidurnya. Ia mendengus kesal setelah tahu bahwa yang meneleponnya adalah Will.

"Mau apa kau? Kau pikir sekarang jam berapa, hah?!" omel Joe kesal.

Will tertawa riang di ujung telepon. "Bangun, Sobat. Kau pikir jam berapa sekarang?"

Joe menjauhkan telepon dari telinganya. Melirik sekilas jam yang tertera di layar. Jam sebelas siang. Matanya melotot kaget. Pulang sehabis mengamuk dan menjerit-jerit di tempat karaoke, ia langsung tertidur. Rasanya sangat lelah.

"Ada apa kamu meneleponku, Will? Apa ada pekerjaan yang harus kuselesaikan?" tanyanya setelah tersadar dari kantuknya.

"Ibuku menelepon. Ia khawatir karena kau tak juga turun untuk sarapan. Dasar anak durhaka, kau, Joe." Will menjawab, setengah menahan tawa.

Ibunya melapor bahwa kemarin Joe menyanyi sambil berteriak-teriak dan pulang dalam keadaan lesu. Ia ingin mengorek cerita dari sahabatnya itu. Selain dari sifat emosian yang tak kunjung sembuh itu, sebenarnya hidup sahabatnya sangat menarik untuk dibicarakan. Disamping kisah pilu masa lalunya, drama percintaannya sangat seru. Sahabatnya itu ... TAK PERNAH SEKALI PUN JATUH CINTA!! Will hampir saja menyemburkan tawa saat mengeja kalimat itu di otaknya.

"Ceritakan padaku, Sobat. Apa yang terjadi?"

Joe mendengus, kesal. Berhadapan dengan Will selalu membuatnya serba salah. Jika ia menceritakan masalahnya pada Will, pria akan menjadikan itu lelucon dan meledeknya seumur hidup. Jika Joe tak menceritakannya, dirinya pasti kan mati kesal karena tak punya teman cerita. Sungguh, mungkin bersahabat dengan Will adalah kesialan terbesar dalam hidupnya.

"Aku mematahkan tangkai sakura yang seharusnya kurangkai sebanyak tiga kali. TIGA KALI, WILL!! Bayangkan betapa kesalnya aku."

Lagi-lagi, sahabatnya itu tertawa terbahak-bahak. "Bisa kubayangkan sekesal apa dirimu, Sobat. Bahkan Pak Ari bilang, kau menjerit-jerit dalam ruangan karaoke sampai serak."

Dasar, Kampret!! Baru saja Joe memikirkan reaksi Will, ia sudah melakukannya. Sungguh menyebalkan memang sahabatnya itu. Ia ingin sekali marah pada Will. Tapi, sejak dulu memang hanya Will yang tahan berada di sebelahnya. Terutama pada saat emosinya tak terkendali, Will bahkan akan menahan Joe dengan tubuhnya. Hanya agar Joe tak melukai orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.

"Sialan! Siapa suruh kau mengirimku kesini untuk merangkai bunga, hah?! Kau tahu batas kesabaranku hanya seujung kuku. Aku stress!" Joe membawa ponselnya dan duduk di teras samping rumah. Tersenyum pada ibu Will yang menatapnya dengan sorot khawatir. Lalu, seperti tersadar dengan ucapan sahabatnya, Joe mulai mengomel lagi. "Jadi kau memata-mataiku?!"

Tawa Will langsung berkumandang. Joe heran, Will mudah sekali tertawa. Ia bahkan tertawa saat melihat Joe marah. Mungkin sebenarnya Will lah yang membutuhkan terapi psikolog. Bukan dirinya. Mungkin kegilaan tersembunyi dalam kewarasnnya. Joe masih menunggu jawaban Will yang terpotong tawa, sambil sibuk berkomat-kamit mengucapkan sumpah serapah dalam diam. Tak ingin ucapannya didengar oleh Tante Kimiko yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri.

"Kudengar dari Hiro, kau bahkan tak membanting meja mungil tak bersalah itu. Aku menghitung itu sebagai sebuah kemajuan, Sobat."

Joe mendengus, kesal. "Kau bahkan membuat Hiro memata-mataiku? Sialan kau, Will. Padahal melihat Hiro membuatku berdebar tak karuan." Joe seketika itu juga menutup mulutnya. Setan!! Sekarang Will bahkan bisa membuatnya kelepasan bicara.

Tawa riang kembali terdengar. "Aaw ... kau jatuh cinta pada sepupuku, huh, Joe? Cinta pertamamu?" Nada suara Will terdengar mengejek.

"Kalau saja aku tak ingat bahwa ponselku ini mahal. Sudah kubanting sejak tadi. Kau sungguh menguji kesabaranku, Sobat."

Joe tahu, Will pasti mencibir mendengar dirinya berkata begitu. Pasalnya, sudah sejak lama sahabatnya itu memintanya mengganti ponsel. Menurut Will, ponsel itu sudah ketinggalan zaman. Padahal ponsel berlogo buah yang sudah digigit itu baru di belinya tiga tahun lalu. Mengingat harga belinya yang selangit kala itu, Joe enggan menggantinya dengan yang baru.

"Sumpah, Joe. Aku heran, bagaimana kau bisa bertahan dengan status 'single'-mu itu selama ini. Bahkan aku sudah berganti pacar berkali-kali sejak aku mengenalmu dan kamu masih saja sendirian."

Ingin sekali rasanya Joe melemparkan batu besar yang dilihatnya di taman rumah Tante Kimiko ke kepala Will saat ini.

"You know what? Single isn't a status. But a word that describes a person who is strong enough to live and enjoy life without depending on others." Joe kemudian bingung sendiri. Sejak kapan otaknya mampu merangkai kata seperti itu.

"Preach!! Alasan itu."

Joe semakin kesal mendengar tawa sahabatnya. Ia bersiap untuk memarahi Will. Tiba-tiba, sebuah suara yang kerap kali membuat jantungnya berpacu tak menentu, terdengar dari belakangnya.

"Saya setuju." Hiro, dengan kemeja hitam dan jeans birunya, sudah berdiri di belakang Joe.

"Loh? Ada Hiro disana? Joe? Halo?" Joe yang terpaku di tempatnya, lupa bahwa ia sedang menerima telepon dari Will. Ia menoleh, melihat Hiro tersenyum dan serta-merta memencet tombol untuk mengakhiri pembicaraan di ponselnya. Biar saja pria usil yang terlalu mau tahu itu penasaran.

"Saya setuju. Kalau orang yang menikmati hidup sendirian itu adalah orang yang kuat. Saya baru mengenalmu, tapi saya yakin kau pun orang yang kuat, Joe-san. Saya punya perasaan yang kuat terhadap dirimu." Hiro melanjutkan ucapannya. Membuat Joe semakin terkesima mendengarnya.

"Saya belum tahu, ini akan jadi perasaan yang seperti apa. Tapi saya sangat bersedia mencari tahu. Saya ingin tahu tentangmu lebih jauh lagi. Mungkin ini terdengar aneh. Tapi, entahlah ... saya merasa senang berada di dekatmu."

Pikiran Joe melarangnya untuk membuka mulut. Berharap mulutnya mengikuti apa kata otak untuk tidak menganga di hadapan Hiro. Sama seperti kata Hiro, ia pun memiliki perasaan yang kuat terhadap pria itu. Entah itu memang cinta atau hanya kekaguman semata. Ia akan dengan senang hati mengikuti kemauan Hiro untuk saling mengenal lebih jauh. Joe masih terdiam. Dalam hati ia berpikir, mungkin ia harus berterima kasih pada Will karena sudah memaksanya datang ke Jepang. Mungkin juga, Joe akhirnya bisa menemukan orang yang bisa menggantikan posisi sahabatnya yang menyebalkan itu. Membayangkan Will yang cemberut karena tak lagi bisa mengorek-ngorek kehidupan pribadinya untuk dijadikan bahan lelucon, cukup membuatnya puas.

"Jadi, Joe-san, apa kau akan kembali ke Jakarta?" Hiro bertanya dengan suara lembutnya. Entah ada apa dengan telinganya, tapi Joe bahkan merasa suaranya semakin merdu setiap kali didengar.

Joe memamerkan senyum terbaiknya. "Tidak. Aku akan tetap di sini sampai aku bisa menyelesaikan rangkaian bunga itu," sahutnya santai.

End

Words Count: 1013

Soothing FlowersWhere stories live. Discover now