Dua Puluh Tiga

2.9K 161 12
                                    

Sekuat apa aku meyakinkan diri, sekuat itu juga suara dalam kepalaku menggoyahkannya. Baru tadi malam, aku memutuskan untuk segera memberitahu Fadil tentang kabar gembira ini. Sore ini aku sudah dirundung ketakutan lagi. Di momen ketika aku memberitahunya bahwa tiga bulan lagi aku akan meninggalkan Jakarta, mungkin di momen itu juga dia akan mendapatkan alasan untuk menolakku dengan tepat. Lagi-lagi suara dalam kepala itu memintaku untuk menunggu sebentar lagi sampai Fadil memberi jawaban. Tapi sampai kapan?

Kami bertemu di depan lift sore ini. Aku mengekornya di belakang untuk menuju ke parkiran motor. Aku menghitung setiap langkah yang kami ambil. Puluhan langkah sudah berlalu, parkiran motor sudah tampak di depan sana. Harusnya sekarang waktunya untuk memberitahu, namun bibirku masih terkunci rapat.

Besok pagi mungkin, jangan hari ini. Ya, jangan hari ini ucapku berulang-ulang di kepala.

Kami sampai di depan motor Fadil.

"Mau makan dulu?" Tanya Fadil mengusik keteganganku.

"Makan di mana?"

"Pecal lele yang biasa?"

Aku mengangguk. Aku baru saja mendapatkan additional time beberapa menit. Waktu yang tidak lama untuk menimbang-nimbang kembali.

Di lapak pecal lele, kami duduk beradapan. Aku membelakangi jalan raya, sementara Fadil sebaliknya.

Lama sekali rasanya pesanan kami datang. Sudah berulang kali aku membuka aplikasi email, lalu menutupnya kembali. Setiap kali aku ingin memperlihatkan ke Fadil, setiap kali juga tanganku merasa kaku.

Aku menaruh kembali ponselku di saku celana. Lalu aku melihat ke arahnya. Aku akan merindukan momen-momen berdua seperti ini. Satu bulan dari sekarang, semuanya akan tinggal kenangan.

Atas kedekatan kami beberapa minggu ini, tidak seharusnya aku menyembunyikan kabar sepenting itu darinya. Selain keluargaku dan Bagas, Fadil kini adalah salah satu orang yang paling dekat denganku.

Fadil mengangkat kepalanya yang sebelumnya menghadap ke layar ponsel.

Mata kami bertemu. Aku segera membuang muka.

"Ada apa?" Tanyanya

"Hmm..." Bibirku serasa kaku.

Fadil meletakkan ponselnya di atas meja, dan tampak fokus menanti ucapanku. Dia seperti sedang membaca kegelisahanku.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana. Aku membuka aplikasi email itu, lalu memperlihatkan padanya.

"Selamat, Tom." Ucapnya Riang.

Aku tersenyum membalas ucapannya.

"Berangkat kapan?"

"Akhir Agustus." Jawabku.

"Dua bulan lagi?"

Aku mengangguk.

Pesanan kami akhirnya datang. Aku menyantap makanan itu dengan pikiran berkecamuk. Aku sudah memberitahunya, namun dia tetap tak menunjukan tanda-tanda akan memberi jawaban. Apakah seharusnya aku langsung bertanya? Bagaimanapun juga aku butuh kepastian.

Aku mengalihkan perhatianku dari lele goreng itu ke arah Fadil. Ternyata dia juga sedang menatapku. Aku hendak menarik kembali tatapan itu, sebelum akhirnya melihat kedua pipi Fadil mengembang dan membentuk seutas senyum manis padaku. "Good joob." Ucapnya.

Aku tersenyum padanya, lalu kemudian membawa kembali perhatianku pada seekor lele goreng di depanku. Dengan susah payah aku akhirnya menghabiskan makanan itu.

Kami dalam perjalanan menuju komplek perumahanku. Beberapa ratus meter dari gerbang, Fadil menghentikan laju sepeda motornya.

"Mau ikut aku sebentar tidak?" Tanyanya.

"Kemana?"

"Karokean yuk. Perayaan." Ucapnya terdengar riang.

"Sekarang?" Tanyaku heran.

"Iya."

"Ya sudah."

Fadil memacu lagi motornya, lalu berhenti di depan sebuah tempat karoke. Dia segera memesan satu ruangan ukuran small.

"Mau lagu apa?" Tanya Fadil. Dia sedang mengetik sebuah judul lagu pada remote di tangannya.

"Kamu duluan saja. Aku cari-cari dulu." Jawabku sekenanya.

Lagu apa yang harus aku nyanyikan di saat seperti ini? Jika harus mengeluarkan suara, aku hanya ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk mengeluarkan semua kegundahan yang berkecamuk di pikiran.

Kemudian intro sebuah lagu terdengar membahana ke seisi ruangan. Aku segera melihat ke arah televisi untuk memastikan bahwa pendengarku tidak salah.

Itu memang lagu yang aku kira. Jarang sekali aku mendengar lagu itu dalam versi aslinya. Yang biasa aku dengar adalah versi akustik dari rekaman suara Fadil yang tersimpan di ponselku. Itu lagu yang dia nyanyikan di hari penutupan Ospek. Lagu The Reason dari Hoobastank.

Aku menoleh ke arah Fadil. Diapun tampak menatap padaku, tersenyum di sana di antara remang cahaya ruang karoke.

I'm not a perfect person. There's many thing I wish I didn't do.

But I continue learning. I never mean to do those things to you.

So I have to say before I go

That I just want you to know

I found the reason for me, to change who I was used to be

A reason to start over new

And the reason is you.

Fadil menyayikan lagu itu semerdu yang selalu aku ingat. Ketika lagu berakhir, dia mulai berjalan ke arahku. Dia menarik tanganku, dan memintaku untuk berdiri.

Tubuhku serasa disetir untuk mengikuti pintanya. Kini kami saling menatap lurus satu sama lain, berjarak satu jengkal jari tangan saja.

"Familiar with the song?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

Dia semakin mendekatkan wajahnya padaku. Yang aku tau kemudian adalah bibir kami saling bertemu, tanpa jarak sedikitpun. Aku merasakan desir hasrat itu menjalar kesekujur tubuh. Jika Fadil tidak menarik lagi bibirnya setelah beberapa detik, mungkin aku sudah lepas kendali.

"I love you too." Ucapnya. "Sorry it takes too long to realize."

Ragu-ragu aku mendekat satu langkah lagi ke arahnya. Kini tubuh kami hanya berjarak beberapa melimeter saja satu sama lain. Aku segera menghilangkan jarak yang terasa masih terlampau jauh itu. Aku memeluk tubuhnya, lalu merebehkan kepalaku pada sisi antara leher dan bahunya.

Kurasakan juga tangan Fadil telah memeluk pinggangku.

Aku tidak tau berapa lama itu terjadi sampai kurasakan akhirnya Fadil menarik tubuhnya dari tubuhku.

"Mau nyanyi apa?" Tanyanya.

Aku segera mengambil remote yang berada di atas meja. Kemudian kami saling bergantian memilih lagu yang mewakili perasaan masing-masing. Tidak banyak yang kami bicarakan malam ini, namun lagu-lagu itu cukup mewakili seribu kata yang ingin kuucapkan padanya.

Tommy & Fadil (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang