Dua Puluh

3K 154 1
                                    

Kerlip layar dan bisik suara telivisi membangunkanku. Aku berusaha mengumpulkan seluruh nyawa yang masih menarawang. Kaki kugoyang dan mengenai paha seseorang. Dengan berat, aku berusaha membuka mata. Kudapati Bagas sedang duduk diujung kasurku dengan stick PS di tangannya. Aku menoleh ke arah jam di dinding kamar. Pukul 11:00 hampir tengah hari.

Aku bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian aku kembali. Kudapati Bagas sudah selesai dengan permainannya. Dia sedang asyik menguyah keripik apel yang bahkan belum aku tawari.

"How long you have been here?" Tanyaku sambil mengeringkan wajah dengan handuk.

"Sejak orangtuamu berangkat kerja." Ucapnya. "Mereka suruh aku cek, kamu masih hidup atau tidak. Tidurmu seperti orang mati."

Aku meraih stick yang tergeletak di atas kasur.

"Bagaimana liburannya?"

"Great. Really great." Jawabku

Aku lalu menceritakan padanya tentang kejadian di kebun Apel, dan juga tentang Fadil yang memintaku memberinya waktu. Aku berharap ada pendapat lain tentang arti dari "meminta waktu".

"Ada harapan." Ucapnya.

Ternyata Bagas berpikiran yang sama dengan kesimpulanku yang kubuat, bahwa Fadil benar tulus meminta waktu, bukan sekedar jawaban tidakenakan yang sebelumnya aku kira.

Tapi tunggu dulu, semoga Bagas juga tidak berusaha menjaga perasaanku dengan tidak mengatakan apa yang sebenarnya dia pikirkan.

"Aku punya cerita lain yang lebih penting." Ucapku dalam Bahasa Inggris.

"Apa?"

Aku meraih ponsel, lalu menunjukan email dari London Business School itu padanya.

Bagas tersenyum. "You did it."

Aku segera memeluk sahabat yang telah menyadarkanku untuk meraih mimpiku ke London itu.

***

Kami turun dari taksi, dan langsung masuk ke dalam lobi utama sebuah Mall di Jakarta Pusat.

Aku mengenakan kemeja lengan panjang, dengan celana denim biru dongker, dan sepatu kets warna biru. Bagas berjalan di sampingku. Dia mengenakan setelan andalannya: Kaos Polo shirt, celana cino krem, dan sepatu vans putih.

Kami sedang berada di dalam lift, bersama dua orang wanita lain.

"Are we dating now?" Tanyanya berbisik, namun cukup keras untuk didengar seisi lift.

Salah satu wanita tampak canggung melirik ke arah kami, lalu menarik kembali tatapannya ke arah tombol-tombol di sebelah kiri pintu lift. Wanita yang satunya lagi bersandar pada dinding, hanya sedikit menggerekan bola mata, lalu kembali fokus dengan layar ponselnya.

Aku mencubit pingang Bagas.

Dia menjerit dengan berlebihan, seolah aku sedang menganiayanya. Suasana di dalam lift semakian awkward.

Kedua wanita itu tampak tidak kuasa lagi untuk tidak menatap kami. Aku tersenyum, lalu mengangguk kepala meminta maaf atas kekacauan yang terjadi.

Kami sampai di lantai lima, dan langsung menuju sebuah restoran Korea. Aku akan mentraktir Bagas malam ini. Perayaan keberhasilanku diterima di kampus yang kumau, sekaligus hari penutupan kami berbicara Bahasa Inggris setelah berbulan-bulan.

"You first." Ucapku untuk memintanya duluan berbahasa Indonesia.

Dia menggeleng. "No, You first."

Rasanya ada yang menganjal di lidahku untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia kepadanya.

"How about we finish the meal first." Ucapku

Kami menghabiskan hidangan kas negara Kpop itu dengan lahap.

"Makasih ya, Gas." Ucapku terdengar kaku.

"Aku yang makasih, kan kamu yang traktir." Ucap Bagas. Itu terdengar sama kakunya dengan ucapanku.

"Makasih untuk semuanya." Ucapku. "Telah meyakinkanku kembali untuk meraih London, telah membantuku mencapai titik ini, dan tentu saja untuk tetap menjadi sahabatku atas semua rahasia yang kupunya."

Bagas tersenyum. "That's what best friend for."

"Jangan pakai Bahasa Inggris lagi." Ucapku.

Bagas tersenyum. Aku tersenyum. Kami lalu tertawa terbahak-bahak. Tidak ambil pusing dengan semua mata yang tertuju pada kami.

Tommy & Fadil (Completed)Where stories live. Discover now