Empat Belas

19.6K 1.6K 97
                                    

• • •

Malam minggu. Dan ini adalah malam ketiga setelah percakapan gue dan Zeno di danau waktu itu. Gue juga masih mempertimbangkan apa yang harus gue lakukan dan tindakan apa yang harus gue ambil tentang itu.

Zeno juga selalu nempelin gue dimanapun gue berada, dan selalu aja nanyain tentang pilihan apa yang akan gue ambil. Dan dia bilang, dia mau jawabannya hari ini.

Gue bingung, gue nggak tau harus ngasih jawaban apa. Gue belum terlalu yakin dengan semua ucapan dia. Masa iya seorang Zeno yang notabennya ada musuh gue dari pertama kali bertemu dan sekarang tiba-tiba bilang kalo mau mastiin perasaannya ke gue.

Dan juga gue udah berpikir, bagaimana dengan perasaan gue ke dia. Gue nggak tau soal itu. Perasaan gue masih abu-abu dan nggak ngerti apa yang gue rasain ke Zeno.

"Udah siap?"

Suara Zeno tiba-tiba mengejutkan gue yang lagi melamun sambil menatap cerminan diri gue di kaca. Gue menoleh ke arah balkon dan mendapati sosok Zeno yang sudah siap dengan pakaian yang sangat pas di tubuhnya.

Gue tersenyum lalu mengangguk mengiyakan.

"Ya udah kalo gitu kita langsung berangkat aja. Nanti kejebak macet kalo nggak buru-buru." ujarnya. Gue cuma mengangguk menurut lalu setelah itu gue mengambil barang-barang yang gue perluin. Seperti ponsel dan duit.

"Yuk." ujar gue setelah semua yang gue butuhin udah siap.

Zeno tersenyum lalu mengulurkan tangannya ke arah gue. Melihat itu gue mengerinyit bingung.

"Apa?" tanya gue.

Zeno mendecih, lalu tanpa seizin gue dia langsung mengamit tangan kanan gue dan menggenggamnya erat. Dan tanpa menunggu reaksi gue, dia menarik tangan gue begitu aja dan jalan keluar kamar nggak perduli dengan kekehan Bunda yang melihat gue di tarik oleh Zeno gitu aja.

"Bun, aku pinjem Kenta nya dulu ya. Ntar aku pulangin kalo udah selesai." pamit Zeno yang langsung dapet anggukan dari Bunda. Setelah itu dia lanjut jalan sampai akhirnya berhenti tepat di depan motornya.

"Loh motor lo kok ada di rumah gue? Kan lo tadi masuk ke rumah gue lewat kamar lo." ujar gue setelah sadar dan Zeno juga udah melepaskan genggamannya dari tangan gue.

"Gue tadi kelupaan bawa hp. Makanya gue balik lagi ke rumah. Terus gue nggak sengaja deh ngeliat lo ngelamun di kaca, gue samperin deh." jelas Zeno sambil menaiki motornya setelah memakai helm terlebih dahulu.

Gue manggut-manggut mengerti.

"Lagian, apa yang lo lamunin sih? Soal percakapan kita di danau itu ya? Udah ada jawabannya?" tanya Zeno menyerbu gue dengan pertanyaan yang memang lagi ada di benak gue saat ini.

Gue mengangguk lagi. Setelah itu gue meraih helm yang Zeno ulurkan sebelumnya.

"Udah. Ntar tepat tengah malem lo ke kamar gue ya. Gue bakal kasih jawabannya." ujar gue yang sebenernya belum yakin. Tapi melihat mata dan suaranya yang penuh ngebuat gue harus segera memikirkannya

Toh, dia cuma minta temenan kan? Selebihnya, dia cuma mau mastiin perasaannya aja. Nggak ada ruginya buat gue. Kalo dia ada niat jahat, tinggal gue hentikan dan semuanya berakhir kan? Iyakan?

"Seriusan? Wah, gue nggak sabar." ujar Zeno yang lagi-lagi menggunakan nada penuh harap.

Gue menggeleng lalu menepuk bahunya.

"Udah nggak usah mikirin itu dulu. Ayok berangkat, katanya takut kejebak macet." ujar gue mengalihkan topik sebelum Zeno bertanya-tanya apa jawaban gue nantinya.

"Ok. Pegangan yang erat ya. Gue bakal ngebut nih. Soalnya tempatnya bakal rame banget kalo nggak cepet-cepet ngambil tempat. Malem minggu soalnya." ujarnya. Gue cuma ngangguk-ngangguk aja mendengarnya. Lalu tanpa ngomong apa-apa lagi gue menaruh tangan gue di pinggang Zeno tanpa berniat untuk memeluknya.

My Enemy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang