5. Keliru

36.3K 1.8K 87
                                    

Gina POV

Bilang ini hanya mimpi buruk.
Katakan ini tidak nyata.
...
Benda itu, kalungku! baik-baik saja bukan? Leon tidak membuangnyakan?
Tolong!
Seseorang, katakan padaku,
Dimana benda itu...
*****
“Dia masih belum sadar?”
“Belum.”
“Yo! Apa yang terjadi?”
Suara helaan nafas itu terdengar sangat berat, rasa-rasanya aku sudah lama sekali tidak mendengarnya melakukan itu.

“Entahlah, sepertinya saat Gina dan Leon sedang berkendara santai di tol Cipularang ada mobil lain yang menyalip mobil yang mereka tumpangi, Leon langsung banting setir dan ...”

Tidak kudengar lagi kata-katanya.. untuk apa? Aku sudah tau kelanjutannya.
Bukankah aku sendiri yang mengalaminya, tidak bukan aku sendiri. Melainkan bersamanya.
Suamiku.
Leon.
*****
Gina Flashback

“Capek?” lembut Leon bertanya sambil mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepalaku.
Kuanggukkan kepalaku perlahan.
“Kamu istirahat ya sayang, nanti malam kita masih ada acara kan?”
kauangkat wajahku untuk menatapnya “Acara apa?”
“Kamu lupa? Hana balik dari Jerman dan mama minta kita untuk datang.”
Kupalingkan wajahku dari tatapannya. Hana adalah adik perempuan Leon, selama ini dia sekolah di Jerman dan sama sekali belum pernah bertemu denganku sebelumnya. Tapi bisa kupastikan kalau sama seperti keluarga Darius lainnya dia pasti tidak menyukai aku, istri kakaknya.

“Hana pasti akan menyukaimu Gina, jangan sedih ya sayang.”
Kuberikan senyuman palsuku padanya, berpura-pura tenang dihadapannya tidaklah membuatku merasa bersalah. Karena segala sesuatu antara kami adalah satu kepura-puraan besar.
Pengingkaran untuk perasaan cinta lain yang terpendam dan jauh lebih utuh dari apa yang kumiliki sekarang.

Mataku menerawang jauh kepemandangan langit yang membentang diatas sana, jemariku tanpa sadar mempermainkan bandul kalungku dengan ujung jari telunjukku.
Benakku melukiskan wajah malaikatnya yang menawan.
Dia, ... apa kabarnya ya?

Sinar matahari yang masuk dari kaca mobil dibagian tempat aku duduk menyinari bandul kalung itu, membuatnya bersinar-sinar terang dan memantulkan bayangannya kekaca depan mobil. Deretan huruf-huruf asing berputar-putar mengikuti gerak jariku yang memutar-mutar bandul itu. Sudah sejak lama aku tau kalau bandul kalung pemberian Mas Theo akan mengeluarkan huruf-huruf asing yang aneh kalau tertimpa cahaya matahari atau disinari dengan cahaya lampu, tapi sampai sekarang aku belum bisa mengetahui apa bacaan dari abjad-abjad aneh itu.

“Itu abjad Cyrillic, kan?”
Suara Leon membuatku menoleh kearahnya, menatap dengan dahi berkerut.
“Abjad Cyrillic itu abjad yang dipakai dalam bahasa Rusia.”
“Rusia! Dari mana kamu tau?”
Leon tertawa datar “Theo yang mengajarkannya padaku.”
Dia.
Mas Theo.

“Theo sebenarnya tidak berminat untuk jadi dokter, dia lebih tertarik pada bidang sastra, terutama sastra Rusia. Tapi sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang nyaris seluruhnya Dokter dia tidak punya pilihan lain.”

Aku tidak pernah tahu itu.
Selama menikah dia selalu dingin dan tertutup padaku, tidak mengherankan karena baginya aku adalah angin.
Angin ada dimanapun dan dibutuhkan oleh mahluk hidup, tapi jarang ada yang menyadari kehadirannya karena angin tidak berwujud atau menyerupai apapun juga.
Itulah aku baginya.

Sudahlah.
Tidak ada gunanya juga disesali, batinku dalam hati sambil tetap mempermainkan satu-satunya benda yang pernah diberikannya padaku dalam keadaan sadar.

“Siapa yang memberikan kalung itu padamu?” suara Leon mendadak terdengar berubah jadi kasar.
Aku menoleh lagi kearahnya “Ini hadiah natal dari Mas Theo.”
“Kalau begitu lepaskan.”
“K-kenapa?”

Kutatap suamiku kebingungan, masa dia cemburu hanya karena kalung ini.
“Lepaskan Gina”
“Tapi mas...”
“LEPASKAN”

Mataku membelalak kaget karena bentakan itu.
Selama kami menikah Leon tidak pernah sama sekali mengasari aku, lalu sekarang kenapa?

“Apa kamu tahu arti kalimat yang tertulis disana?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Pernah mencari tahu artinya.”
Sekali lagi kugelengkan kepalaku.
Ya tyebya lyublyu.”
Dia mengucapkan kalimat yang aneh itu dengan wajah jijik.
“Masa kau tidak tau artinya?”

Aku menatap pada Leon bertanya “Memang aku enggak tahu...sudahlah mas aku capek, kita jangan berantem ya, ini cuma kado biasa kok. Mas Theo kasih keaku tanpa alasan yang istimewa kok..”

Leon tersenyum menyeringai, matanya menatap kearah benda cantik dileherku dengan penuh kebencian.
“Kalau memang tidak ada artinya untukmu buang saja..”
“Enggak bisa suamikuuuu..., aku udah janji sama Mas Theo untuk selalu memakainya, lagi pula benda ini cantik dan unikkan.”

“Aku mencintaimu.”
“Apa!”
Ya tyebya lyublyu .... I love u, itu artinya.”
Aku terpaku.
Kepalaku bagai dihantam dengan sebuah batu besar.

Dia.
Mas Theo.
Dia mencintaiku.
*****
Waktu seakan terasa mundur bagiku.
Benakku mengingat semua keanehan yang terjadi saat aku masih bersamanya.
Diminggu-minggu terakhir menjelang natal pertama sekaligus terakhir yang kami rayakan.

Penyesalanku ada disana,
Kekeliruan,
Ketidakmampuan mengenali dan membaca suasana hatinya.
Andai saja saat itu aku bisa lebih sensitif pada perubahan sikap dan tingkah lakunya.
Kami mungkin tidak perlu jadi seperti saat ini.

Dua minggu menjelang natal ada yang berubah darinya.
Mas Theo tak pernah lagi bersikap uring-uringan didepanku.
Dia lebih banyak melamun.
Apa yang ada dipikirannya?
Entahlah.
Bagiku dia dan isi hati serta pikirannya adalah zona terlarang untuk aku ketahui.

“Theo, hari ini kamu enggak kerumah sakitkan?”
Mama mertuaku bertanya padanya, yang segera diiyakannya dengan anggukan kepala.
“Enggak ma”
“Kalau begitu antar Gina belanja buat keperluan Natal.”
Baru saja aku hendak menolak usul mama itu saat kudengar suaranya menyetujuinya dengan mudah.
“Oke mam.”
Aku menoleh menatapnya yang sibuk membaca koran pagi dengan terheran-heran, dia pasti tidak mendengar dengan jelas perintah mamanya.
Kalau dia sadar dengan apa yang disetujuinya, paling juga dia akan langsung menolak seperti biasa.
*****
 “Mau kemana?” suaranya menghentikan langkahku saat hendak menuju kearah service room rumah keluarga Rumpoy.
“Mau mencari Pak Benu, Mas?”
“Pak Benu sedang keluar sama mama, lagian kenapa kamu mau nyari pak Benu?”
“ Ehmm... itu mas, minta dianterin belanja. Ya udah deh, aku telepon taksi aja.”

“Tutup teleponnya, kan ada aku yang antar kamu.”
Aku terpaku menatapnya tak percaya.
“Ayo tunggu apa lagi” lanjutnya sambil dengan ringannya menggamit tanganku untuk melangkah bersamanya.
Kugigit lidahku sendiri.
Sakit,
Ternyata aku tidak sedang bermimpi.
*****
“Kenapa nggak beli kue jadi aja? kenapa harus bikin sendiri? memangnya kamu enggak capek?” Mas Theo bertanya panjang lebar padaku saat dia membantuku memilih bahan-bahan untuk membuat cake.
“Enggak, lagian aku enggak ada kerjaan juga dirumah, dari pada bengong.”
“Kalo bengong ya pergi ke salon dong.”
“Salon!”
Kulihat dia menganggukkan kepalanya.
“Enggak ah! Aku ke salon cuma buat potong rambut doang, kalo tiap bengong kesalon, bisa-bisa rambutku ini habis dong”

Dia terkekeh.
Memperlihatkan lekuk lesung pipinya yang dalam dan bentuknya yang memanjang.
Ketampanannya menjadi-jadi dimataku, beberapa wanita yang melihat keberadaannya selalu terdiam beberapa detik saat menatapnya, sama seperti aku, mereka mudah terjerat pada pesonanya.

“Makanya, kesalon jangan cuma buat motong rambut aja, Gina”
Lembut suaranya saat menyebut namaku membuat aku berpikir kalau aku sudah tidak waras lagi karena merasa sikapnya hari ini terasa berbeda saat memperlakukanku.
“Tapi kayaknya juga nggak perlu sih... begini aja kamu sudah cantik kok!”

Kutatap wajahnya dengan dahi berkerut.
Apa aku tidak salah dengar?
Dia mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambutku dari belakang. Aku terdiam menikmati rasa sentuhannya, desiran halus mengembara dijaringan sel syaraf, kontak fisik dengannya selalu saja bisa membuat aku teralihkan dari indahnya dunia hanya untuk menanti-nanti sentuhannya berulang.
*****
“Kamu mau beli apa?”
Dia bertanya padaku yang tengah sibuk memilihkan kado natal untuk mama dan papa mertuaku.
“Kira-kira papa suka yang mana ya mas?” aku bertanya padanya sambil menunjukkan dua buah dasi yang berbeda warna, kado pilihanku untuk papa.
“Itu untuk siapa?” dahinya berkerut heran.
“Untuk Papa..”
“Kalau begitu ambil keduanya.”
“Uangku enggak cukup buat beli dua, Mas”
“Enggak cukup? Kamu yakin?”
Kuanggukkan kepalaku cepat “kartu kredit dari Mas enggak pernah kupakai sih.”
Mas Theo terlihat syok sekali mendengar kata-kataku itu.
“Jadi kau pakai uang dari mana?”
“Uang tabunganku sendiri, sebenarnya itu untuk membayar biaya kuliah tapikan sejak kita ehmm...menikah seluruh biaya pendidikanku ditanggung sama papa.”

“Gina, kartu kredit itu gunanya untuk dipake belanja...bukannya cuma jadi hiasan dompet doang, gimana sih kamu ini!” gerutunya dengan wajah terlihat tidak senang.
“Kalo orang lain sampai tau bisa-bisa aku dianggap enggak pernah kasih kamu uang buat seneng-seneng...ahhh, ya udah hari ini kamu harus belanja juga barang-barang kebutuhan untuk kamu. Aku enggak mau kamu tampil apa adanya saat makan malam keluarga nanti.”
“Tapi mas..”
“Enggak ada tapi-tapian” potongnya cepat sambil menarik tanganku berlalu pergi dari tempat itu menuju kelantai tempat dimana butik-butik pakaian wanita ternama berada.
*****
Harusnya dia jadi bekerja jadi pembelanja pribadi saja.
Dia berbakat dalam hal menemukan pakaian dan perhiasan apa yang cocok dan tidak cocok dipakai oleh wanita manapun.
Aku tau ini sejak awal pernikahan kami. Mbak Bia selalu meminta Mas Theo untuk menjadi temannya belanja juga gara-gara ini.
Dulu, setengah mati aku iri pada kedekatan mereka, sakit rasanya setiap kali suami yang kucintai terlihat ekstra perhatian pada wanita lain. Tapi aku tidak bisa menuntut apa-apa karena tahu kalau dia menikahi cuma karena terpaksa.
Kalau aku tidak muncul dalam hidupnya mungkin Mbak Bia adalah pilihan utama bagi Mas Theo untuk dijadikan istri.

“Pink ini cocok buat kamu” dia menyodorkan selembar gaun berwarna baby pink untukku “Ayo dicoba” dia menatapku yang hanya diam sambil menatap benda itu.

Ketika aku masih berdiam diri juga dia berdecak kesal sambil menarikku dengan paksa menuju kekamar ganti, didorongnya tubuhku masuk kesana kemudian dia ikut masuk juga, membuatku kaget setengah mati.
“Mas…”
“Kalo aku enggak ikut masuk takutnya kamu enggak cobain nih baju” potongnya cuek.
“Tapi, mas enggak harus ikut masuk jugakan!”
“Kenapa? Kamu malu?”
Kutundukkan wajahku yang terasa panas. Kudengar helaan nafasnya.
“Ayo coba saja, aku akan berbalik dan memejamkan mataku … ah repot banget sih sama kamu” gerutunya sambil melakukan apa yang dikatakannya tadi, dia berbalik memunggungi aku.
“Repot gimana mas?” aku bertanya sambil mengenakan pakaian yang disodorkannya tanpa membuka pakaian yang kukenakan sama sekali. Sedikit sempit, tapi aku yakin tanpa pakaian lain yang melapisi, gaun ini pasti pas ditubuhku.
“Ya repot!” serunya kesal tapi kelihatannya dia tidak berminat untuk melanjutkan kata-katanya, aku tersenyum datar melihatnya.
“Sudah?”  dia kembali bersuara.
“Sudah” jawabku pelan.
Dia tidak langsung berbalik dan menghadap aku, melainkan mengintip sekilas dari balik punggungnya.

“Ya tuhan Ginaaaa….” Dia berseru kesal “kenapa kamu nyobain gaunnya pakaiannya kamu enggak dilepas?”
“Soalnya mas ada didalam juga sih … nggak nyaman tau!”
Matanya tajam menatapku. Kesal, geram, dan lelah terlihat jelas diwajahnya.
“Tapi muat kok, Mas. Suer” kuacungkan dua jariku kehadapan wajahnya.
“Ya udah aku ambil itu ya untuk kamu.”
Kuanggukkan kepala sambil tersenyum dan kemudian berniat untuk membuka gaun yang kukenakan, kutarik naik berusaha meloloskannya dari kepala namun baru sampai dipinggulku benda itu tidak mau bergerak lagi.
“Kenapa?” tanyanya saat melihatku sibuk sendiri dengan gaunku.
“Kok nggak bisa ya mas?”
“Makanya…” dia tidak langsung melanjutkan perkataannya, dengan cekatan kedua tangannya menghentikan tanganku yang masih memaksakan benda itu untuk dapat lolos dari tubuhku. Jari jemarinya bergerak kembali menurunkan gaun yang kukenakan “Ini lebih mudah kalau melepasnya dengan cara menjatuhkan kebawah bukan naik keatas.”

Kurasakan jemarinya bergerak dipunggungku menarik risleting gaun turun sampai kebawah kemudian dia menjatuhkan dengan lembut tali gaun dari bahuku, dengan perlahan gaun itupun merosot dari tubuhku.
See!” serunya sambil menatap aku dari balik cermin besar yang ada dihadapan kami berdua.
Pemandangan didalam cermin menunjukkan apa yang kuharapkan dari status kami sebagai suami istri selama ini, kedekatan. Tubuhnya benar-benar dekat denganku, mudah sekali untuk menjangkau fisiknya, tapi hatinya…

Kutelan ludah dengan kelu saat wajah jelita teman wanitanya melintas dibenakku.
Tidak mungkin aku bersaing dengan seorang Bianca Alena.
Kutundukkan tubuhku untuk mengambil gaun yang terjatuh dilantai kamar pas, sesuatu mencegahku. Kutundukkan kepalaku, menatap kebagian dimana lengan kokohnya melingkar untuk menahan gerakanku.

“Gawat kalo kamu yang ngambil, posisinya bikin aku serba salah” dia menggumamkan kalimat itu sambil menggelengkan kepala dan menghela nafas lewat mulut.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkannya. Lagipula dengan lengannya di pinggangku mana bisaku memikirkan hal lain.

Saat Mas Theo kembali menegakkan tubuhnya dia menatapku yang telah memiringkan tubuh dan menghadap kearahnya, lama kami saling berpandangan, suara seakan hilang, dan meski bertukar pandang, kata-kata pemujaan lewat bahasa tatapanpun ikut membisu.
Inilah kami, desah hatiku pedih, menyadari kalau sesuatu yang kuharapkan darinya selama hampir setengah tahun pernikahan kami tak akan pernah jadi kenyataan.
Mungkin aku lebih baik segera menjalankan rencanaku, pikirku sedih sambil mengalihkan tatapan kearah pintu kamar pas.

Aku,
Sepertinya aku sudah kehilangan harapanku padanya.
Harapan  yang bernama cinta.

Kuputar kenop pintu kamar pas, dan begitu pintu terbuka tiga orang lelaki berseragam menatap kami dengan wajah garang.
*****
“Ha…ha…ha…ukh..hfffffttttt….he..he..he…”
Aku mengucek-ucek wajahku dengan kedua telapak tanganku, geram sekali rasanya aku sekarang.
“Udah deh mas ketawanya… sama sekali nggak lucu”
“Kata siapa nggak lucu ha ha ha ha…”
Dia tertawa lagi.
‘Dasar orang ini’ gerutuku dalam hati enggak pernah sadar, enggak pernah kapok dengan hal-hal memalukan. Sampai sekarang saja foto mesum –banyak yang berpikir seperti itu- kami dulu masih beredar luas diinternet apa jadinya kalau lagi-lagi kami mengulangi kasus yang sama.

“Papa pasti kecewa sama kita, mas” kutundukkan kepalaku dengan sedih, membayangkan wajah papa mertuaku.
Tawanya terhenti, dan kusadari kalau tatapannya tertuju kepadaku.
“Jangan terlalu cemas lah…kamu pikir papa itu bapak-bapak baik hati yang polos apa! Begitu-begitu beliau bisa licik juga loh..”
Kutatap dia keheranan “Apa sih maksudmu mas?”

“Kepergok satpam bercinta di kamar pas, cuma perkara kecil Gina.”
Kupelototi dia terang-terangan, apa katanya tadi? Bercinta! Enak aja.
Tanpa menghiraukan tatapanku dia melanjutkan kata-katanya.
“Paling juga papa dengan sok coolnya bilang kemedia massa untuk memaklumi kita yang masih muda.”
“Terserah deh mas, yang jelas aku enggak mau ikut tanggung jawab kalo sampe migrainnya papa kumat gara-gara ini.”
“Iyaaaaa…jangan khawatir.”

Kamipun saling berdiam diri entah untuk beberapa lama.
“Gina?”
Kutoleh wajahnya “Ya?”
“Aku berpikir, seandainya aku bukan anak tunggal maka kamulah yang akan kupilih untuk jadi adik perempuanku.”

Kalimatnya menghentikan nafasku.
Rasa sesak bercampur pedih kurasakan bercampur aduk direlung hati.
Aku tersenyum getir saat menyadari kalau aku telah berhasil membuatnya melihatku, meski dengan cara yang tidak sesuai dengan keinginan.

Playboy Monarki The Series - Lust In loveWhere stories live. Discover now