2

22 7 2
                                    


Arum memasuki ruangan melukis. Di sana, Devian sudah menunggunya sambil menyiapkan sebuah bangku yang dia tempatkan di tengah ruangan. Di hadapan bangku tersebut, Devian telah menyiapkan sebuah kanvas berukuran besar.

"Arum Flores, bukan?" tanyanya singkat.

"Iya. Benar, Pak!" jawabnya.

"Silahkan duduk di bangku itu," Devian menunjuk ke arah bangku yang baru saja dia letakkan. Tanpa ragu-ragu, Arum menuruti perintah Devian. Setelah Arum duduk, Devian memperhatikan gadis itu sejenak dari jarak yang agak jauh. Arum terpaku begitu menyadari tatapan Devian tidak lepas dari dirinya. Devian mendekati Arum, agar Devian bisa melihati gadis itu lebih dekat lagi.

Mau tidak mau, Arum terpaksa membalas tatapan Devian. Begitu dia melakukannya, Devian malah berbalik dan kembali ke kanvasnya.

"Jadi, saya boleh memanggilmu dengan Arum?"

"Ah, itu... tidak apa apa sih, pak!"

Tanpa Arum sadari, kini Devian sedang bekerja di balik kanvasnya. Arum tidak bisa melihat wajah Devian pada saat itu. Ketika Arum bergerak sedikit saja, Devian menyuruhnya untuk diam dan mencoba untuk tidak terlihat panik.

"Bapak sedang melukis saya?" tanya Arum.

"Kalau yang kamu lihat, gimana?"

Arum kembali tersentak. Kenapa Devian tiba-tiba melukis wajahnya? Devian mengintip dari balik kanvas, menunggu Arum yang masih melongo untuk menenangkan dirinya dan kembali pada posisi semula.

"Bisa saya lanjutkan?" tanya Devian.

Arum mengangguk pelan. Devian lalu kembali ke balik area kerjanya. Arum bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Devian selanjutnya. Dia mengira kalau ini hanyalah percakapan biasa yang sedikit membosankan. Perlakuan Devian terhadapnya membuat jantung Arum berdegup kencang dan mengacaukan pikirannya.

"Arum, kamu terlihat sangat gugup. Sebelum saya masuk ke inti pertemuan kita, bolehkah saya menanyakan beberapa hal tentang dirimu?"

"Tentu boleh, pak!" jawab Arum.

"Baiklah, " Devian pun memulai pertanyaannya, "Pertama, darimana kamu berasal? Paris? Atau kamu dari luar kota?"

"Saya dari Paris, pak. Tetapi saya tinggal di pinggiran kota bersama keluarga saya," jawab Arum.

"Hmm, namamu Flores, bukan? Apa kau ada hubungan dengan toko bunga Flores yang terkenal itu?"

"Iya, pak. Saya cucu dari pemilik toko bunga tersebut," tiba-tiba, Arum terdiam sejenak. Dia pun bertanya pada Devian , "Kenapa Bapak bisa tahu mengenai toko bunga milik kami? Saya kira itu hanya orang-orang yang di sekitar tempat kami saja yang tahu,"

"Kamu lihat deh lukisan rangkaian bunga yang ada di sana!" suruh Devian sambil menunjuk ke arah sebuah lukisan yang di pajang di tengah-tengah dinding ruangan melukis. Arum memandangi lukisan itu, lalu dia teringat pernah melihat bentuk karangan bunga seperti yang ada di lukisan tersebut.

"Saya ingat bunga tersebut!" ujar Arum, "Bunga itu dipesan untuk dikirim ke sebuah rumah sakit. Kalau tidak salah, kepada seorang wanita tua yang sedang berjuang melawan tumor di rahimnya!"

"Lukisan itu dibuat oleh Pak Elliot sendiri," kata Devian, " Pada saat itu, istri Pak Elliot mendapati adanya tumor ganas yang menyerang rahimnya. Dokter meminta agar dilakukan operasi pengangkatan tumor sekaligus rahimnya. Bunga itu memang bukan diberikan oleh Pak Elliot, melainkan dari kami, para murid kelas fine arts pada masa itu. Lukisan itu dibuatnya sebagai bukti rasa senangnya terhadap dukungan yang kami berikan,"

My Valentine (FINISHED)Where stories live. Discover now