1. Mati Saja

39 6 1
                                    

“Dasar anak tidak berguna! Mending kamu mati saja!”

Tidak berguna.

Mati saja.

Haha. Mati, ya?

Memangnya... setelah mati, aku tidak akan merasakan sakit lagi?

Memangnya... setelah mati, aku tidak dianggap hina lagi?

“Heh, kamu jangan senyum terus, dong!” Aku mendelik tajam pada sosok di cermin itu. Bagaimana bisa dia terus tersenyum lebar sementara aku sedang sekacau ini.

Aku pun duduk dihadapannya, menatapnya dengan kedua alis mengerut kesal.

“Kenapa? Mereka nyuruh kamu mati secara cuma-cuma 'lagi'?” Sosok itu terkekeh.

Wah, bagaimana dia bisa tahu? Dia memang teman terbaikku!

Aku pun menatapnya dengan pandangan berbinar-binar, “iya, sampah-sampah itu... mulutnya belum pernah dijahit, ya?” Aku pun menyeringai lebar saat membayangkannya. Wah, pasti asik sekali. Hehe.

Sebelah alisnya terangkat, kemudian dia tertawa meremehkan. “Haha, dasar bodoh. Memangnya kamu gak takut 'dibunuh' lagi kayak kejadian 1 tahun yang lalu?”

Aku pun terdiam.

1 tahun yang lalu, ya?

Hmm, sebenarnya apa yang aku perbuat dulu, tidak disengaja kok.

Padahal aku hanya tidak sengaja melempar gelas kaca sesudah minum, aku kira si sampah itu bakalan nangkap. Tapi.., mungkin gara-gara dia terlalu asik mengoceh sambil menghinaku, gelas itu pun sepertinya muak mendengar omongan 'sampahnya'. Dan, tepat sasaran! Ups, itu bisa dibilang tepat sasaran atau meleset, ya? Soalnya gelasnya cuma kena pelipisnya, sih.

Wajahnya bersimbah darah! Dan aku tersenyum manis. Setelah itu dia memekik! Aku sih santai aja, ya. Dia aja yang terlalu melebih-lebihkan segalanya. Dasar manusia jaman sekarang, pantas sering dijuluki hewan bodoh berliur.

“Ngapain takut 'dibunuh' lagi? Aku 'kan memang sudah mati.” Aku mengangkat sebelah alis, meremehkan dia.

Dia tertawa mendengus, “kamu ini, santai sekali, ya?”

“Terus, aku harus apa? Harus banyakin ngebacot biar menarik perhatian? Mon maap aja nih ya, aku bukan kaya anjing-anjing itu.”

Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Lalu, apa sekarang kamu mau 'membunuh', lagi? Pisau itu sepertinya rindu main-main sama kamu.” Dia menunjuk sebuah pisau di atas meja rias.

Aku menyeringai, kemudian mengambil pisau itu tanpa ragu dan mulai menggesek-gesekkan jariku dibagian yang tajam. Aku berdesis pelan, “ya, kamu benar.”
Aku pun berdiri dan menggenggam pisau yang tajam itu erat-erat, sedikit tertancap pada telapak tanganku. Tapi... aku merasa lebih baik. Bahkan aku sangat menikmati darah yang terus mengalir sambil tertawa dan berkata, “daripada harus membunuh diri sendiri yang sangat berarti, kenapa enggak membunuh 'anjing' saja?”

Yang tidak berguna....

Harus mati, kan?

Our DamageWhere stories live. Discover now