03

31 5 6
                                    

A million dreams is all it's gonna take

Dea menatap batu nisan yang berada di hadapannya.

Kuburan dengan rumput liar di mana-mana, tidak terurus. Tidak seperti kuburan yang lainnya.

Dea jongkok, mencabut rumput-rumput liar. Membersihkan tempat peristirahatan orang yang di sayanginya itu.

"Sudah 10 tahun loh."

Dea menatap gundukan tanah itu. Baru kali ini dia berani datang sendiri ke sini. Akhirnya dia siap. Siap berbicara tentang semua yang dia pendam.

"Takdir itu lucu ya?"

Dea terkekeh. Berbicara dengan diri sendiri ternyata bukanlah hal yang buruk.

"Andaikan kalau buku perpustakaan itu tidak disobek-sobek sama ibu aku. Andaikan kalau kamu tidak datang hari itu. Andaikan kalau aku menolak ajakan kamu. Andaikan kalau kamu tidak menawarkan bantuan kepadaku."

Dea terdiam. Menghirup napas sebentar.

"Andaikan saja kau masih hidup sampai hari ini," lirih gadis itu.

Tanpa Dito, Dea tidak akan berani untuk bermimpi sekali lagi. Dia tidak akan berani berbicara dengan ibunya, menjelaskan perlahan tentang mimpi-mimpinya.

Dito yang mengajari kepada Dea semua yang lelaki itu tahu. Dito yang siap berdebat dengan siapapun yang berani meremehkan mimpi Dea. Dito yang mewujudkan mimpi Dea.

Dea selalu merasa tidak enak. Menelan bulan bulat semua kebaikan Dito. Semua yang gadis itu butuhkan, Dito penuhi.

Dea tidak akan pernah lupa, setiap sore, saat-saat dia diajari dengan penuh kesabaran oleh Dito.

Dia tidak akan pernah lupa saat lelaki itu mengantarnya sampai rumah dihadiahi ujaran kebencian yang berasal dari ibunya.

Gadis itu tidak akan pernah lupa saat dirinya mendapat hadiah ulang tahun sebuah bangunan sekolah. Sebuah bangunan yang tidak terlalu kecil, tidak juga terlalu besar.

Dia juga tidak akan pernah melupakan betapa malunya dia saat dengan refleks dia memeluk Dito.

Tidak akan pernah lupa rasanya dipeluk anak-anak yang merasa bahagia karena mereka bisa sekolah. Jangan lupakan senyum kebahagiaan mereka yang terpancar dari diri anak-anak itu.

Gadis itu masih ingat dengan suara gemuruh ruangan itu. Sebuah acara award dan dia memenangkan nominasi orang-orang yang menginspirasi. Dea menjadi terkenal. Hidupnya menjadi 180 derajat. Siapa lagi kalau bukan Dito yang membuat selebaran tentang sekolah gratis.

Dia masih mengingat betapa grogi dirinya saat itu. Betapa kikuk dirinya entah harus berbicara apa. Satu hal yang spontan gadis itu bicarakan adalah "Terima kasih kepada Dito. Tanpa dia, saya bukanlah apa-apa."

Gadis itu hapal betul dirinya yang panik karena mendapat kabar bahwa Dito mengalami kecelakaan tabrak lari dan lelaki itu meninggal seketika.

Dea tertarik kembali kepada kenyataan. Dirinya yang berhasil mencukupi bahkan melebihi kebutuhan keluarganya. Dia yang berhasil membuat sekolah gratis pertama untuk anak-anak yang tidak mampu. Rasanya, berada di puncak. Rasanya tidak ada apapun. Hampa. Tidak ada kesenangan apapun. Padahal ini mimpinya.

Mengingat-ingat kenangan bersama Dito tidak baik untuk kesehatan batinnya.

Dea mengusap perlahan batu nisan itu. "Kamu ingat apa yang kamu katakan padaku waktu ibu aku meninggal?"

Air mata gadis itu menyeruak keluar. "Benar kata kamu, Tuhan mengambil seseorang yang baik lebih cepat. Tuhan rindu ciptaannya. Kamu harus ikhlas, Tuhan merindukan ciptaannya, akhirnya suatu saat juga akan memanggil kita untuk selama-lamanya."

"Kamu itu orang baik. Orang paling baik yang pernah aku temui. Aku bahagia. Sangat-sangat bahagia. Tapi, tidak kalau tidak ada kamu. Rasanya kurang. Tapi aku ikhlas, rela akan kepergianmu. Semua orang punya perannya masing-masing. Kamu adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk membantu mewujudkan mimpi si gadis yg suka berkhayal ini."

Dea berdiri. Membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di celananya. "Selamat tinggal Dito. Aku akan mengunjungimu sesering mungkin. Masih banyak mimpi yang harus kita wujudkan."

THE END

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 14, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DREAMS? [END]Where stories live. Discover now