Olivia memang bahagia bisa melihat anaknya Aimee (dan bukannya Julia) kembali hidup bersamanya setelah sekitar dua tahun lamanya berpisah. Aimee pun tidak keberatan jika harus tinggal di rumah lama mereka di rumah kecil dekat perbatasan. Namun, lain halnya ketika Julia merasa kesepian di dalam apartemen ayahnya yang mewah itu. George memang ayah kandungnya. Hanya saja, kini disadari bahwa sesuatu telah berubah dari diri ayahnya. Julia merasa asing tinggal di rumah itu. Suara George memang terdengar sama; ada semacam ciri khas tersendiri yaitu sebuah kelembutan dalam nada bicara ayahnya yang dikenali sejak dulu. Namun, ketika George bicara pada Julia, Julia tidak mendapati ayahnyalah yang berbicara, melainkan, seperti orang lain yang ada di hadapannya. Ya, George kini telah berubah. Tidak lagi suka mengajak Julia bercanda dan berbasa-basi ketika makan malam seperti yang dilakukannya dulu, tidak lagi mengecek Julia ke kamar sebelum gadis itu tidur seperti yang sering dilakukannya dulu, serta George tidak lagi menjadi penyair.

Julia mengetahui ayahnya tidak lagi menulis puisi-puisi ketika gadis itu menyelinap ke ruang kerja ayahnya. Gadis itu membuka semua loker, mencari-cari tulisan tangan ayahnya (barangkali masih ada coretan-coretan syair), bahkan membuka komputer ayahnya, namun nihil. Kebanyakan, yang ia temukan hanyalah berkas kerja serta sertifikat kepemilikan saham atau tanah. Tidak ada puisi-puisi, tidak ada lagi sajak-sajak, dan tidak ada seorang ayah penyair.

Tidak ada ayahnya yang dulu.

Pada titik itu, ia tahu sesuatu. Tidak ada yang menginginkan kehadirannya di dunia ini. Ya, siapa pula yang menginginkan seorang anak tidak bisa bicara? Tidak ada. Jika Julia membayangkan menjadi orangtuanya sendiri pun, mungkin ia tidak akan mau dengan dirinya sendiri, yang cacat dari lahir. Semuanya hanyalah tentang Aimee, yang sempurna dan cantik, tidak seperti dirinya.

Di suatu waktu, ia merencanakan dirinya menghilang. Bayangan mengiris pergelangan tangannya sendiri sudah ada di pikirannya sejak ia menyadari bahwa ayahnya tidak lagi menyayanginya seperti dulu.

Julia mengambil hari Senin untuk hari kematiannya, ketika ayahnya (dan istrinya) pergi bekerja kedua-duanya. Ia mengurungkan niat untuk mengiris nadi pergelangan tangan karena dirasanya itu cukup menyakitkan.

Alhasil, dua botol penuh pil aspirin dihabiskan Julia dalam dua kali telan. Ia kira cara itu tidak akan berhasil karena bukannya mati, tubuhnya malah mengeluarkan keringat luar biasa derasnya selama beberapa menit. Kemudian, tubuhnya mulai lemas. Julia tidak sanggup lagi berdiri, dan berujung terkulai di lantai. Ia kira cara ini tidak akan berhasil, namun, perlahan pandangannya membuyar, tubuhnya tahu-tahu kejang dan berguncang bukan main, telinganya tiba-tiba berdenging sangat keras dalam tempo yang lama. Begitu ia tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang bergejolak dari dalam tubuh, mulutnya perlahan mengeluarkan lendir, memuntahkan cairan putih berbusa. Dan, secepat itu, dalam hitungan menit, tubuhnya berhenti berguncang.

Aimee Whitney dan Olivi Carpenter yang kebetulan pada waktu siang itu telah berada di ruang tamu sebab berkunjung ke rumah George, begitu heran mengapa rumah sebesar itu senyap. Itu adalah kala pertama kali Olivia dan Aimee datang ke rumah George—sejak mereka tinggal berdua—untuk mengantarkan sup ayam yang memang diperuntukkan untuk Julia (karena itu adalah ide Aimee).

Jantung Aimee seolah berhenti berdetak ketika melihat saudara kembarnya sendiri telah berada di lantai kamarnya, tidak bergerak sedikitpun. Pikiran-pikiran negatif berkecamuk sewaktu ia menyadari mulut Julia berbusa putih. Aimee menangis sejadinya. Gadis itu meraung keras seraya mendekap tubuh saudara kembarnya yang sudah benar-benar dingin. Aimee meraung lagi, memanggil Olivia Whitney yang langsung memasuki ruang tidur itu.

Wanita itu histeris ketika mendapati Aimee mendekap tubuh seorang gadis. Julia, ia tahu benar itu adalah Julia. Melihat Julia terkulai lemas tak berdaya, Olivia merebut paksa tubuh putrinya dari Aimee sementara Aimee langsung menyingkir sambil terisak. Langsung ia tekankan kedua telapak tangannya ke dada Julia. Berkali-kali ia lakukan itu dengan perasaan yang tidak beraturan. Amarah bercampur kecewa, lalu perlahan berubah menjadi penyesalan yang mengalir melalui air mata di pelupuk matanya. Julia ... Olivia tidak percaya, di balik sikap diam, tenang, dan penurutnya Julia, tersembunyi sebuah rahasia besar. Sebuah titik terendah dan menyakitkan sehingga mampu membuat gadis itu memutuskan mengakhiri hidupnya. Dan yang paling menyedihkan adalah, Olivia tidak pernah mengetahui hal itu. Olivia terlalu egois, mementingkan hidupnya sendiri. Ia terlalu muluk-muluk menginginkan kehadiran kesempurnaan tubuh Aimee dalam jiwa Julia. Olivia jadi ingat, ia sering memaksa Julia untuk menjadi orang lain yang  bukan dirinya ketika kenyataannya ia hanya mempunyai seorang Julia yang benar-benar Julia, bukan Aimee. Olivia begitu salah dalam tindakannya selama ini. Saat itu, akhirnya Olivia sadar, yang sebenarnya ia sayangi adalah Julia sendiri, bukan Aimee. Bukan Julia yang dipaksa-paksa untuk menjadi Aimee.

Olivia Carpenter terus melakukan hal yang sama; mencoba menekan dada anaknya agar tetap hidup, sesekali mengecek nadinya, lalu mencoba lagi dan lagi. Menyadari apa yang dilakukannya sia-sia, kali ini ia berganti ke sisi perut, menekannya sekuat tenaga seperti yang ia lakukan sebelumnya. Hanya saja, tidak ada tanda-tanda pergerakan dari tubuh Julia selain guncangan yang diciptakan Olivia sendiri terhadap tubuh yang telah mati itu. Begitu lengan Olivia berhenti menekan ke permukaan perut Julia, tubuh gadis malang itu juga ikut berhenti. Sudah tidak tersisa harapan; Julia telah pergi, secepat itu.

---

Satu hari kemudian, pemakaman dilaksanakan. Beberapa keluarga hadir menyertai upacara, juga ada pula rekan kerja George Whitney dari luar kota. Semua orang penuh dengan wajah berkabung, ekspresi penuh kesedihan yang menyertai, merasa tidak menyangka mengapa seorang gadis berusia tujuh belas tahun pergi secepat itu dengan cara yang tragis dan tidak semestinya. 

Hidup mempunyai pilihannya sendiri. Baik atau buruknya hidup tergantung dari pilihan kita, apakah kita memilih untuk terus berjuang dengan penuh rasa sakit atau memilih pergi begitu saja. Setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk menenangkan rasa sakit dalam tubuh mereka, bahkan menghilangkan kesedihan itu dengan ceoat meskipun orang itu tahu bahwa masih ada kesempatan yang menyertainya jika ia memilih untuk tetap berjuang.

Untuk menyamarkan rasa sakit agar tidak meluas ke individu lain, setiap orang juga mempunyai pilihan sendiri-sendiri untuk menutupi rahasia hidup yang menyakitkan. Maka pada waktu Aimee mendapati seseorang telah mengirimkan surel ke ponsel saudaranya, Aimee memutuskan untuk menutupi rahasia mereka. Hal itu dilakukannya, semata-mata agar orang lain tidak ikut serta terlibat dalam kesedihan yang amat menyakitkan. Maka, Aimee mengambil kesempatan untuk membalas surel itu, menjelaskan bahwa saudaranya telah tiada dengan cara yang normal, bukan dengan cara yang tidak wajar. []

-END-

Hiksdds:'))

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Hiksdds:'))

Ten Rumors about the Mute GirlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora