Dua

6.1K 183 1
                                    

Pagi itu cukup terik. Sinar matahari melimpah ruah menyinari lapangan di depan Fakultas Ekonomi. Aku bersama ratusan mahasiswa baru lain sudah berbaris rapi di barisan jurusan masing-masing. Itu hari pertama ospek. Pernak-pernik aneh sudah terpasang lengkap di tubuh kami.

Pandanganku menyisir ke sekeliling lapangan. Tampak beberapa senior masih sibuk berdiskusi sebelum memulai acara pembukaan ospek. Salah satunya seorang pria jangkung di dekat tiang bendera. Dari tempatku berdiri di belakang barisan, aku masih bisa merasakan aura gagahnya. Tubuhnya tegap tampak mengintimidasi lawan bicaranya yang kurus kecil. Sepertinya dia sedang memberi instruksi pada beberapa rekan. Belakangan aku tau kalau kakak yang rambutnya disisir rapi itu adalah ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen.

"Ini barisan Jurusan Manajemen ya?" Ucap seseorang membuyarkan lamunanku.

Aku menarik pandanganku dari kakak senior ke pria yang berdiri di sebelahku itu. Mentari yang bersinar di belakang tubuhnya mengaburkan pandanganku. Semakin mataku beradaptasi atas serangan sinar terik yang tiba-tiba, semakin aku dapat melihat jelas wajahnya.

Dia tampak memberikan sebuah senyum perkenalan sambil menunggu jawabanku. Senyum yang bertahun-tahun kemudian tidak dapat aku lupakan. Senyum yang begitu saja merebut pesona kakak ketua Hima dalam pikiranku.

"Iya." Ucapku. Aku sukses menguasai diri.

Pria itu menyodarkan tangannya padaku. "Fadil" Ucapnya.

"Tommy" Aku meraih tangan itu.

Ospekpun dimulai, dan akan berlangsung hingga dua hari ke depan. Kami, para mahasiswa baru, harus mengikuti semua peraturan yang sudah ditetapkan oleh pengurus BEM. Bagi yang melanggar tentu saja ada ganjaran yang akan di dapat. Salah satu korban adalah Fadil, yang terlambat datang satu menit pada hari kedua. Sebagai hukuman dia harus membawakan sebuah penampilan di acara penutupan esok hari.

Seorang kakak senior bertanya padanya tentang apa penampilan yang akan dia bawakan besok.

Fadil tampak berpikir sejenak, lalu menjawab dengan mantap. "Nyanyi, pakai gitar."

Aku tidak sabar untuk melihat penampilan pria itu.

Sore hari di hari ketiga, kami dikumpulkan di aula terbuka di sebelah gedung fakultas. Acara penutupan ospek akan dilaksanakan. Sebagai hiburan, para pelaku pelanggaran akan membawakan pertunjukan singkat. Tentu saja yang aku tunggu-tunggu, penampilan dari Fadil.

Sebelum acara di mulai, kami diizinkan mengambil ponsel masing-masing yang sebelumnya ditahan oleh kakak senior selama ospek. Setelah mengambil ponselku, aku segera duduk pada barisan terdepan.

Fadil berjalan ke depan kami sambil menenteng sebuah gitar coklat. Dia duduk pada bangku kecil, lalu menyesuaikan stand mic dengan mulutnya.

Aku melihat ke orang-orang di sekitarku. Setelah memastikan tidak ada yang menengok ke arahku, dengan sigap aku segera membuka menu perekam suara di ponsel.

Fadil memetik senar gitar coklat itu. Alunan melodi bertempo sedang mulai membahana melalui speaker besar yang di tempatkan di dua sudut aula. Selepas intro, suaranya terdengar berpadu dengan petikan senar oleh jemarinya itu.

Penonton terbius. Tepuk tangan dan sorakan terdengar riuh. Kami lalu diam menikmati alunan lagu pop yang dibawakan secara akustik itu.

Aku di sana, di barisan terdepan, tak sedikitpun melepaskan perhatianku padanya. Gerakan jemarinya menghasilkan nada yang mencekokiku dengan bius berdosis tinggi. Selaras dengan itu, suara merdunya membuat aku menemukan satu hal, bahwa ini bukan lagi tentang kekaguman sesahat yang biasa aku rasakan pada seorang pria. Benih-benih perasaan itu sudah terbit pada hari pertama, dan semakin menjadi saat itu.

"Ganteng ya." Terdengar suara seorang wanita di belakangku.

"Iya." Ucap wanita lainnya.

Iya, pikirku. Aku mengiyakan ucapakan wanita itu. Namun, sekaligus mengiyakan suara dalam kepalaku yang tiba-tiba mengatakan apakah aku telah siap untuk mengaguminya diam-diam, seperti seharusnya?

Tommy & Fadil (Completed)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα