Haji Keris

11 0 0
                                    

Kedua cucuku bersila khidmat di hadapan. Raut wajah mereka jelas menantikan dongeng yang biasa diceritakan saat liburan di rumahku.

"Eyang jangan mendongeng binatang lagi ya. Bosan," protes Ridho, anak menantuku yang bungsu.

"Ih, terserah Eyang dong." Umar, kakaknya tak mau kalah.

"Baiklah. Kali ini Eyang hendak bercerita yang spesial buat kalian berdua."

"Spesial pakai telor?" Ridho menyelak, membuat kami bertiga terbahak.

***
Ini cerita spesial. Bukan karena aku yang langsung mengalaminya, tapi karena sejak peristiwa itu rasa takjubku pada Ka'bah, rumah ibadah pertama di muka bumi, menjadi terpatri dalam benak hingga hari ini. Saat umurku hampir menjelang 80 tahun.

Usiaku saat itu tak beda jauh dengan Ridho dan Umar. Bocah belasan tahun, masih ingusan. Tiap hari sepulang sekolah rakyat, aku bermain bola sepak atau kelereng. Itu saja. Tak ada siaran televisi, apalagi telepon pintar seperti sekarang. Benda termahal saat itu, sebuah radio tabung yang teronggok di ruang tengah.

Setiap habis sholat maghrib, kami wajib berkumpul di ruang tengah. Bergiliran mengaji, menghafalkan juz 'amma agar bisa menjadi imam sholat. Kami, empat lelaki dan tiga perempuan, sangat patuh pada bapak, kalau tidak beberapa sabetan rotan akan membekas di bokong atau betis kaki.

"Bapak tak melihat Danuri hari ini. Tolong panggilkan, hafalannya belum bertambah sejak kemarin."

Kami berenam saling berpandangan. Aku si adik bungsu, beringsut cepat mencarinya di kamar. Mas Danuri, kakak tertua yang berbeda 12 tahun denganku, sedang asyik duduk di atas dipan sambil mengelus-elus sebuah benda. Keris kecil, berkilau kuning emas bertuliskan huruf arab. Aku duduk penasaran di sampingnya.

"Mas dipanggil Bapak."

Kakakku diam. Wajahnya seperti sangat kagum pada keris itu. Sambil tersenyum, diusapnya pangkal senjata tajam itu dengan lembut, dikeluarkan dari sarungnya, lalu tertawa bangga. Aku khawatir, kalau Mas Danuri tetap di kamar, setelah sholat Isya' akan ada jerit kesakitan dari kamarnya. Rotan bapak tak pernah sungkan menebas betis siapapun di rumah kami.

Malam itu bapak menyabetkan rotannya hampir sepuluh kali, tapi hanya jangkrik di belakang rumah, suara ternyaring yang kami dengar. Aku mendekapkan bantal rapat ke muka, membayangkan warna lebam kebiruan bergores-gores di betis Mas Danuri. Keesokan harinya Mas Danuri dengan bangga menyingkapkan kain sarungnya.

"Lihat sini. Biarpun bekasnya banyak, tapi aku tak merasakan sakit sama sekali."

Aku terbelalak heran. Tak pernah kulihat kaki yang warna lebamnya lebih banyak dari itu. Aku lebih memilih diam alih-alih bertanya apa rahasianya.

Dua bulan sejak itu, aku sering melihat Mas Danuri berbicara sendiri di kamar. Seperti sedang mengobrol akrab dengan temannya yang tak kasat mata. Di kamarnya beberapa kali kucium bau kemenyan, yang entah kenapa hilang tak berbekas saat bapak ada di rumah. Aku juga pernah memergokinya memandikan keris kecilnya dengan air bertabur bunga, dalam bejana perak. Padahal saat itu aku akan berangkat ke masjid menunaikan sholat Jum'at.

Haruskah aku beritahu bapak yang makin sibuk dengan tugasnya sebagai demang? Aku, si bocah ingusan, pasti hanya akan dianggapnya mengada-ada.

***
Suatu hari sepulang sholat Ied, di hari raya lebaran, kami dikumpulkan bapak di ruang tengah. Setelah saling memaafkan, bapak memberitahu kami sesuatu yang penting.

"Kantor karesidenan akan memberangkatkan Bapak naik haji ke tanah suci. Surtini, akan berangkat menggantikan almarhumah ibu. Sobari, juga akan ikut karena dia anak bungsu. Satu lagi, Bapak terpaksa harus mengundi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 31, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Haji KerisWhere stories live. Discover now