50 | "...until it teaches us what we need to know."

Start from the beginning
                                    

"Aku agak terkejut ketika kau tiba-tiba langsung menghilang dalam hitungan detik," ucapnya kemudian.

"Aku tidak terkejut," kataku singkat. Mengapa juga Penelope perlu mengekor padaku? "Hei, bukankah kau harusnya bersama Julian?"

Penelope bergeser dari belakangku dan memposisikan tubuhnya duduk di lantai balkon, menurunkan kaki di celah-celah pagar, lalu menghembuskan napas panjang. "Julian harus bertemu teman-temannya."

"Mengapa kau membuntutiku?!" tanyaku setengah menggertak.

"Hei, santai saja, Jason, aku tidak akan menyukaimu lagi."

Persetan, pasti dia ke sini karena ada maunya, aku yakin, sialan. "Apa maumu?"

"Hanya ingin menemanimu," Penelope menatap langit-langit malam, lalu tersenyum memandangku. Sekarang ini aku yakin aku mau muntah, sial. "Lalu, kenapa kau malah ke sini?

"Aku benci pesta."

Penelope melayangkan tatapan menyelidik, seolah ia tahu sesuatu dari ucapanku. "Apa kau kesepian? Setelah kepergian gadis itu?"

"Kesepian? Jelas tidak."

"Aku yakin rasanya aneh menyadari tetangga kita tiba-tiba pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan." Ingin kutonjok muka Penelope yang seolah menantangku, namun kutahu jika aku benar-benar melakukannya, setelah ini aku otomatis akan dipanggil pengecut.

Kataku, "Aku diberi penjelasan, meski tidak secara langsung." Wajah Penelope menunjukkan antusiasme yang sangat menonjol. Aku yakin dia kaget pastinya. Lalu aku melanjutkan, "Kenapa kau tiba-tiba berubah? Dan Julian ... Kenapa setelah kalian bersama, mendadak kalian seperti serempak menjadi baik?"

"Julian, sebenarnya anak itu baik, hanya saja ia terkadang membuat onar pada siapa saja kecuali pada orang-orang terdekatnya. Hei, aku minta maaf atas waktu itu; ketika ia menonjokmu," jelas Penelope sebelum akhirnya berkata lagi, "Juga, mengapa aku berubah? Karena aku menyadari sesuatu, bahwa Julia bukan satu-satunya imigran gelap di kota ini." Kulayangkan tatapan penuh heran pada Penelope yang membuat gadis itu terus bicara, "Ayahku. Dia dari Jamaika. Hanya saja sekarang sepertinya polisi pun sudah menyerah mencarinya."

Tanyaku, "B-bagaimana bisa dia berasal dari Jamaika sementara kulitmu...."

"Dia ayah tiriku."

Baiklah, bukan sesuatu yang mengejutkan. Aku tidak terkejut sampai di sini. Ini perihal Penelope, bukan Julia. Seharusnya aku tidak perlu banyak tahu tentang Penelope; dia bukan siapa-siapa, masa bodoh. Lalu kualihkan topik agar Penelope tidak meneruskan bicara tentang ayahnya, "Apa yang kau tahu dari Julia?" tanyaku.

"Hanya seorang yang tidak bisa bicara, lalu ... imigran gelap. Aku tahu dia seorang imigran dari Islandia adalah dari seseorang—"

"Franklin Wellman, petugas imigrasi Amerika. Mencari Julia dan ibunya," kataku tiba-tiba, seolah membabi-buta.

Kata Penelope, "Aku pernah didatangi pria itu dan dia bertanya tentang penghuni rumah yang ada di sebelah rumahku, Julia dan keluarganya. Aku hanya menjawab tidak tahu siapa mereka sebenarnya, dan akhirnya, pria itu tidak mendapatkan informasi apa-apa. Namun sebagai informasi, dia memberitahuku bahwa wanita bernama Olivia Whitney adalah imigran gelap dari Islandia, beserta anaknya, Julia Whitney."

Kata-kata Penelope masuk ke dalam rongga telingaku, dan tiba-tiba saja kudapati suaranya langsung keluar melalui telinga kiriku (karena pada dasarnya aku sudah tahu kebenarannya, lewat diary Julia). Lalu kudapati diriku membuat pengakuan, "Aku membaca buku hariannya," ada jeda selama tiga detik sebelum akhirnya kulanjutkan, "Aku tahu itu salah, tapi, aku memang tidak sengaja mengambil bukunya. Ketika Julia menghilang, hari itu juga aku memanjat ke kamarnya dan mendapati kamarnya memang benar-benar kosong. Kutemukan potongan kertas yang sengaja disobek-sobek menjadi ukuran kecil yang kemudian setelah kugabungkan kembali, itu berisi ejekan pedas seseorang. Kukira itu dari kau ... ternyata beberapa minggu lalu aku salah. Dan, aku baru ingat, ketika aku mengumpulkan potongannya, kertas itu kumasukkan dalam bukaan sebuah buku yang kuambil asal dari atas meja. Aku baru saja menyadari hal itu kemarin ketika kutemukan di kamarku ada buku hariannya." Penelope menatapku nanar, mungkin ia belum mengerti.

Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now