Senja, Mencoba jujur!

1.6K 216 37
                                    

TYPO HARAP MAKLUM

Lets Vote & Comments

***

Riuh keramaian yang terdengar di sekitarku seolah bagai nada indah di telingaku. Di bawah naungan langit jingga yang merona, aku dan dia duduk di bangku taman kota tepat di bawah pohon rindang.

Baik aku mau pun Veranda belum juga ada yang buka suara sedari kami tiba di taman kota. Memulai sebuah obrolan yang mungkin bisa mencairkan kami dari suasana canggung yang melanda. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya aku-lah yang merasa demikian. Canggung berada di dekatnya.

Sesekali mataku melirik sosoknya yang duduk tepat di samping kananku. Mencuri pandang ke arahnya sekadar untuk mengagumi sosoknya yang bak bidadari tak bersayap. Sungguh dia terlihat begitu mempesona. Wajah sampingnya yang terpapar cahaya sang mentari senja, rambut panjang yang tergerai dimainkan sang angin. Membuatnya semakin tampak sempurna. Tak henti hentinya aku terus menerus memuji dirinya, dalam hati.

Oh God! Sungguh indah nian bidadari tak bersayap-Mu ini. Mungkinkah aku bisa memiliki dirinya seutuhnya?

Huft!

Helaan napas lirih pun seketika lolos dari hidungku. Sesak rasanya bila ingat aku hanyalah sebuah tameng baginya. Satu kata yang mungkin pas untuk menggambarkan statusku, yaitu Miris. Aku pun tertunduk, tak mau lagi mencuri pandang, hanya rasa sesak yang kudapati setiap kali meliriknya.

"Kenapa?"

"Hm?" Gumamku menoleh cepat, menatap tidak ngeh akan pertanyaannya.

"Kenapa menghela napas? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

"Ohh, hehe. Nggg nggak, nggak ada," Gelengku cepat, tertawa bodoh dan kembali tertunduk.

Hening. Tak kudengar lagi suaranya. Kuberanikan diri kembali meliriknya. Lagi lagi aku kembali terpesona akan sosoknya yang sedang melihat langit senja.

Huft!

Nggak enak rasanya bila saling diam seperti ini. Dari pada cuma diam melihat langit senja, lebih baik kucoba beranikan diri untuk membuka obrolan. Sebagai laki kaki, aku harus berinisiatif untuk memulai. Yaaa, walau pun rasanya deg degan plus canggung juga sih. Tapi tidak apa apa, yang penting mencoba.

"Ekhm, loe suka banget ya sama senja?" Tanyaku.

"Hm," Gumamnya tanpa menoleh. "Saat masih di Manado, aku sering melihat senja dari balkon kamarku. Setiap kali menatap langit senja, membuatku menjadi merasa tenang dan hangat," Ujarnya, sedikit melirikku.

Aku pun manggut manggut, seolah mengerti apa yang dia katakan. Padahal aku sama sekali nggak ngerti. Teori dari mana coba menatap langit senja bisa membuat perasaan jadi hangat dan tenang? Aneh aneh saja. Pokoknya aku sok dingerti ngertiin sajalah biar gak terlalu kentara begoku. Hehe.

"Kamu sendiri, gimana? Apa juga suka senja?" Tanyanya balik. Dia kini sepenuhnya melihatku.

Deg deg deg

Duh, jantung oh jantung. Selalu saja berulah setiap kali dia menatapku. Rasanya tuh seperti sedang ditelanjangi. Lebay. Hahahaha!

"Entahlah, nggg gu,- ehh, aku gak tahu," Timpalku sedikit mengindikkan bahu. Sedikit kuralat kosa kataku dari gue ke aku untuk mengimbanginya yang menggunakan kata 'aku kamu' bukan 'loe gue' seperti biasanya.

"Kok gak tahu? Kamu gak suka senja?" Tanyanya dengan kening mengernyit, semakin intens menatapku.

"Ya gak tahu aja. Soalnya aku gak pernah melarutkan diri ke dalam perasaan menye menye dengan perantara senja. Aku sih tahunya cuma makan, bolos dan tawuran. Hehe," Ujarku diakhiri cengiran bodohku.

Rencana Sang SENJAWhere stories live. Discover now