TIGA2 - RULY

100 11 0
                                    

Saya kembali mengecup punggungnya, berkelindan dengan jemari ini mengelus lengannya, menyampaikan perasaan membuncah tanpanya. Ah, Elvira ... dia menggelinjang ketika bibir ini menyentuh cuping telinganya.

Dia mendesah lagi, "Rul ...." 

Saya memeluknya, merindukannya, menciuminya dengan rakus, mendambanya, menghirup semua aroma yang menguar darinya. Perasaan rindu ini semakin meluap, mengalir bersama darah yang kian menggelegak.

Mendidih.

"Rul, ini ng-gak adil," desahnya diikuti rintihan. "Geli tau!" Tubuhnya bergerak-gerak bagai menahan gelitikan. Saya hanya mengecup punggungnya, menumpahkan semua kerinduan sejak ketiadaannya sementara sebelah tangan ini sesekali meremas bokongnya. Gemas. 

"Gimana kalau gini?" Dengan cepat dia berbalik lalu mengalungkan tangan di leher ini. Memijat kulit kepala ini dan bergelayut di sana. Saya tak pernah menyangka apa yang dia lakukan. Tatapannya membuat sesuatu di dalam diri ini menuntut lebih.

Ketika dia merapatkan tubuhnya, tangan ini merespon merengkuh pinggangnya, menopangnya. Bibirnya terasa hangat menemui bibir ini dengan tergesa. Mengulum, menjilat dan menggigit. Dia menyerbu saya dengan pesonanya, dengan wangi rambut dan tubuhnya.

Ra? Dia lincah sekali. Ya Tuhan, ternyata di saat mabuk Elvira jadi seliar ini. Saya jadi belingsatan sendiri. Gesekan halus yang dia lakukan di permukaan tubuh ini sungguh ... ah, saya tak mampu menjelaskannya dengan kata.

Saya menunduk, menggeram, mengikuti rima dan penghambaan yang dia berikan. Hingga mendambanya sampai sedalam ini.

"Aaargggh... Elvira." Saya mengerang dengan mata memejam, melangkah mundur, lapar dan dahaga menyatu bersama desakan tubuhnya. Bibir penuhnya masih betah bereksplorasi membungkam bibir ini. Berpagut erat seirama dengan langkah yang terhenti di pinggiran sofa.

Dia melepaskan bungkamannya, saya kehilangan, Tangannya mendorong dada ini dengan keras sampai menghempas di sofa empuk. Tubuh ini menumpu dengan kedua tangan dan napas terengah. Resah. Gelisah.

"Kamu payah! Aku bukan Elvira," bisiknya, memainkan ujung handuk sambil menyeringai. Tatapan binalnya sangat menggoda.

Bukan Elvira? Dia bohong.

Shit! Saya berharap handuk itu segera terlepas. Otak ini semakin kehilangan fungsi rasionalnya. Menguar bersama geraman.

Perlahan dia naik ke pangkuan, menatap sesuatu yang menggembung di antara kedua paha ini dengan pandangan takjub. Sudut bibirnya terangkat, melengkung tipis.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan dengan ini?" Elusan jemari tangannya bertemu di pangkal paha lalu perlahan naik membuka kancingnya. Oh, tidak! Kontrol diri ini bergerak semakin menjauh.

Geraman, erangan, desahan dan lenguhan kembali terlepas dari bibir ini saat dia dengan lincah meloloskan celana yang saya pakai kemudian bersimpuh di antara kaki ini.

"Elvira, please ...." Saya bangkit, menegakkan tubuh dengan siku, melihat apa yang sedang dia lakukan. Dia menyiksa saya dengan jilatan, kecupan dan gigitan, bergerak dari bawah ke atas di sepanjang tungkai dan paha. Sapuannya seringan bulu, teramat ringan.

"Kamu menyiksaku, Ra."

Dia tertawa lirih. "Itu karena kamu nakal, memanggiku dengan nama orang lain." Deru hangat napasnya menggelegakkan panas di ujung pusat tubuh. "Aku penasaran, seperti apa dia menyenangkanmu."

Jari-jari itu terjalin, mencengkeram. Saya kembali menjatuhkan tubuh, ingin menikmati tiap pijatan. Hidangan pembuka yang dia suguhkan teramat menggugah selera. Peduli setan dengan dosa yang ditanggung

SAVIORAWhere stories live. Discover now