Part 34: Menghilang

10.8K 875 29
                                    

[review]

Aku berlari kecil menuju kamar mandi sambil membekap mulutku dengan tangan. "Mama, are you okay?" tanya Lili yang mengekoriku dari belakang.

*

Kepalaku terkulai lemas di depan kloset setelah seluruh isi perutku keluar. Talitha yang berdiri di belakangku sambil membantu memegangi rambutku pasti bertanya-tanya apa yang terjadi pada mamanya.

Nggak mungkin kamu hamil 'kan, Bi?

Sampai saat ini, aku belum mendapatkan menstruasiku. Tapi bukan berarti aku hamil 'kan? Siklus menstruasiku memang sangat kacau balau sejak gadis sampai sekarang. Memang nggak pernah telat sampai sebulan, tapi minimal telat lima sampai tujuh hari.

Aku harus segera mengunjungi dokter setelah ini. Untuk mendapatkan kepastian dari kesehatanku.

"Lili keluar dulu, ya. Mama mau bersih-bersih sebentar," jelasku. Sedetik kemudian, Talitha keluar dari kamar mandi sebelum menutup pintunya.

Aku menghela nafas berat setelah membasuh bibirku dengan air. Banyak pikiran yang bercokol di kepalaku. Dan yang selalu berputar-putar dalam benakku adalah siapa foto bayi dengan inisial A itu?

Apakah anaknya yang lain dengan mendiang istrinya?

Jujur, ingin sekali aku bertanya pada Rafa siapa bayi itu. Tapi apakah itu nggak melanggar privasinya? Apalagi jelas-jelas foto itu diselipkan dalam lembaran kertas-kertas di lacinya.

Tapi kamu istrinya, Tabitha! Jadi, kamu berhak tau siapa itu.

Mungkin bukan ini saatnya aku menanyakan itu padanya. Nanti. Nanti pasti akan ada waktu yang tepat.

*

Setelah membasuh mulut, aku segera keluar dari kamar mandi. Kulihat Talitha duduk di sofa ruang tamu dengan sepasang sepatu di depan kakinya.

"Sudah siap?" tanyaku dari arah dapur sambil memasukkan kembali bahan masakan yang nggak jadi kumasak tadi. Sekujur tubuhku tiba-tiba terasa lemas.

"Udah, Mama. Lili pergi ke sekolah sama Pak Asma aja. Mama di rumah, ya," pinta Lili.

"Maaf ya, Sayang. Mama nggak jadi masakin bekal kamu," kataku sembari menghampirinya untuk membantu gadis itu memakai sepatunya.

Aku nggak mungkin membiarkan Lili pergi sendiri dengan supir. Lagipula, setelah ini aku juga harus ke kantor. Tapi sebelumnya, aku harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu.

"No. Mama juga harus ke kantor, Sayang. Kamu tau 'kan bagaimana kalau Papa-mu itu mengamuk?" tanyaku sambil tersenyum.

Lili akhirnya setuju dengan perkataanku. "Ayo kita berangkat." Kuulurkan tangan pada Lili, tapi gadis itu malah terkekeh kecil sebelum menautkan tangan kami kemudian berjalan menuju mobil.

Aku sengaja menyetir sendiri padahal sebanarnya aku bisa meminta Pak Asma untuk mengantarkan kami. Tapi masalahnya, aku harus pergi ke dokter hari ini.

Aku jarang sekali memakai jasa Pak Asma, lagipula itu 'kan supir pribadi suamiku. Dan juga, aku lebih nyaman berkendara sendiri. Alasan lain, suamiku selalu meminta laporan Pak Asma kemana saja aku seharian itu. Jujur, itu membuatku merasa nggak nyaman.

23 VS 38 (sebagian part telah dihapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang