Prolog

20.5K 1.2K 65
                                    

Gadis itu menatap nanar buku tabungan di tangan. Saldo yang hanya menyisakan 800 ribu itu tidak cukup untuk membayar biaya pengobatan dan operasi sang ibu. Entah dengan cara apa ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu sehari.

"Mei," gumamnya dalam kekalutan, ketika netranya menatap kontak di layar ponsel bututnya, menampilkan nama teman lama yang pernah menawarkan pekerjaan padanya beberapa hari lalu.

Jemarinya bergetar menekan tombol hijau, lalu terdengar nada sambung beberapa saat dan berganti dengan sebuah suara yang tidak asing.

"Ada apa?"

Ia menelan saliva susaya payah. Apa yang ingin terucap, tertahan di tenggorokan.

"Lili? Kok diam aja? Aku lagi sibuk—"

"Mei, aku minta tolong!" selanya cepat dengan bibir bergetar. Bulir bening di kedua sudut mata yang menggenang telah mengalir membasahi pipi.

"Apa?" Balasan dari seberang terdengar datar.

"Aku ... butuh pekerjaan," gumamnya frustrasi.

"Yakin?" Suara itu terdengar meragu.

"I—iya. Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Aku butuh uangnya saat ini juga. Bisa? Em—empat puluh juta ...." Suaranya parau bercampur isakan.

"Empat puluh juta ...? Bisa, aku langsung transfer. Tapi, malam ini kamu datang ke tempatku. Kamu paham, kan?"

"I—iya. Aku paham, aku janji ...." Seakan ada batu besar mengganjal di tenggorokan setelah ia mengatakan itu.

"Awas aja kalau kamu bohong!" Sambungan telepon langsung terputus.

Ia memejamkan mata rapat, tidak mampu menahan tangis setelah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Ia tahu pasti pekerjaan apa yang harus dilakukan untuk menebus biaya pengobatan sang ibu. Namun, ia tidak punya pilihan lain di saat itu.

💔

Bibirnya terasa kelu, matanya menatap tidak percaya melihat deretan angka yang tercetak jelas dalam buku tabungan. Padahal tadi ia hanya meminta 40 juta, mengapa bisa jadi dua kali lipat jumlahnya?

"Mau ambil berapa, Mbak?" Suara seorang Teller Bank yang bertugas membuyarkan kekagetannya.

"Em—empat puluh juta."

"Baik, silakan tanda tangan dulu, ya."

Ia mengusap peluh di pelipis setelah mendapatkan sejumlah uang sesuai kebutuhan. Sisa setengahnya akan ia kembalikan pada Mei, karena ia tidak membutuhkannya. Ia langsung bergegas ke rumah sakit untuk menyelesaikan admistrasi agar ibunya segera ditangani.

💔

Jantungnya berdebar tidak menentu. Kakinya terasa berat melangkah ketika semakin dekat di sebuah unit apartemen. Ia tidak paham, mengapa Mei yang ditemui tadi malah mengantarnya ke tempat mewah itu.

"Sebenarnya, kenapa kita ke sini, Mei?"

"Ini tempat orang yang mau pake kamu. Lebih aman di tempatnya sendiri, dari pada di hotel atau di tempatku. Makanya dia berani bayar mahal," ucap wanita bermata sipit itu santai sambil menekan bel di pintu.

Ia memejamkan mata dengan kedua tangan yang berkeringat saling meremas gugup. Apalagi ketika pintu dibuka. Dan ....

"Ini Lili, sesuai pesanan kamu."

"Thanks."

Suara itu membuat jantungnya seperti akan melompat keluar dari tempatnya. Ia segera membuka mata dan lelaki yang berdiri di pintu itu membuatnya shock luar biasa.

"Pak ... Ni–co." Bibirnya bergetar tanpa suara mengucap nama lelaki muda yang sangat dikenalinya itu.

"Oke, Li. Aku balik. Ingat, jangan kecewain dia. Dia pelanggan pertama kamu," bisik Mei lalu pergi dari sana.

"Pak!" Lili memekik kaget ketika lengannya ditarik paksa masuk dalam apartemen lelaki yang merupakan pemilik kafe tempatnya bekerja.

💔

Kdi, 09-01-2019

Lili (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang