Pangeran Beku

230 9 3
                                    

"Tadi pagi Nin denger ada suara-suara berisik. Ada apa, Neng?” tanya Nini sembari menyuapkan nasi merah dan tempe bacem, lalu mengunyahnya perlahan. 

Di usianya yang sudah 75 tahun, Nini membutuhkan alat bantu dengar untuk aktivitas sehari-hari dan hanya pada saat tidur alat tersebut dilepas. Selain pendengaran, fisiknya termasuk sehat untuk ukuran manula. Tubuhnya kurus dan agak bungkuk, tetapi tidak ringkih. Sorot matanya masih berbinar di antara kulit wajah yang keriput dan tampak segar dengan rambut putih keperakan yang digelung rapi.

Pita menelan ludah dan melirik sekilas Galuh yang juga sedang meliriknya. Pemuda itu segera mengalihkan pandangan sembari pura-pura membetulkan letak kacatamata, jari telunjuknya mendorong frame. 

"Tadi Pita lagi ganti lampu di ruang tamu, Nin. Kan udah dua hari mati. Waktu turun, nggak sengaja tangganya ketendang dan jatuh," jelas Pita. 

Suasana sarapan kali ini agak canggung karena ada orang lain selain Pita dan Nini yang biasanya ngobrol santai bertukar cerita apa pun. Dalam pandangan Pita, Galuh memiliki tampang serius dan kaku, dengan sorot mata tajam di balik kacamata berframe silver, rambut ikal agak acak-acakan, alis tebal khas keluarga Sanjaya, tulang pipi tegas, dan wajah bersih dengan bayangan titik-titik rambut baru tumbuh di dagu dan sekitar mulut. Sepertinya Galuh jarang bercukur. Sampai detik ini, Pita belum melihat pemuda itu tersenyum. Apalagi gara-gara insiden subuh tadi dan melihat Galuh kesal, Pita merasa sepertinya lebih bijaksana untuk tidak terlalu sok akrab dengan pemuda itu.

Euleuh…” Logat sunda khas Nini langsung keluar. “Ada yang luka?”

Kalau nggak diselamatkan Galuh, mungkin luka. “Nggak apa-apa, Nin.”

Nini manggut-manggut. "Galuh, kamu masih ingat Pita?"

Galuh mengangguk patuh, tetap tenang mengunyah sarapan.

“Neng masih ingat Galuh? Cucu Nin yang kuliah di Jakarta, adiknya A’ Sanji," jelas Nini mencoba mengingatkan pengasuhnya. Ia sering bercerita tentang kedelapan cucunya dan berpikir sepertinya Pita tidak hapal semua.

Pita mengangguk pelan. Nini sering bercerita tentang anak-anaknya yang semuanya tinggal di luar Bandung, juga cucu-cucunya yang semuanya pintar. Ia cukup kenal dekat dengan Sanji karena setahun lalu, pemuda itu menghibahkan laptop lamanya agar Pita bisa mengerjakan skripsi. Meski jarang bertemu, Pita bisa melihat binar mata bangga dan bahagia tiap kali Nini mendengar kabar di telepon tentang keluarganya. 

Pandangan Nini beralih ke cucunya. “A’ Sanji masih di Jerman, Galuh?”

“Masih, Nin.” 

"Nah, Galuh pinter banget lho, Neng.” Perhatian Nini kembali ke Pita, lengan keriputnya menyentuh gadis itu lembut. “Dia lulus sarjana cuma 3,5 tahun,” lanjutnya antusias. “Terus, dia udah dapat beasiswa untuk lanjut kuliah ke Amerika. Subhanallah…” Senyum Nini melebar, semakin menegaskan keriput di sekitar pipi dan gigi-giginya yang mulai jarang. 

Senyum Pita tersungging lembut mendengar kebahagiaan dalam nada bicara Nini. Terlepas dari sebersit kagum pada cucu Nini yang tiba-tiba muncul dengan cara menyebalkan, Pita senang karena ada keluarga yang datang menengok perempuan tua ini.

Amerika. Ia hanya tahu negara itu dari film.

“Hebat ya, Nin. Siapa dulu dong neneknya,” cetus Pita antusias yang disambut tawa Nini. Ia melirik Galuh sekilas yang tersenyum tipis. Tipiiss sekali, hanya ujung bibir kiri terangkat sedikit. Oh, dingin sekali sikapmu wahai Pangeran Beku. Entah mengapa Pita merasa julukan itu cocok.

“Kuliah jam berapa, Neng?” Nini menghela napas kekenyangan dan mengambil gelas air putih di samping piringnya.

Pita berdiri dan mulai mengumpulkan piring-piring kosong di meja. "Jam 10 ada UTS. Doain nilainya bagus ya, Nin?"

"Atuh cepetan berangkat nanti kalau di jalan macet malah telat." Nini melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9.00. “Didoain lancar ujian dan dapat nilai bagus.”

"Makasih, Nin." Senyum Pita melebar. Ia beranjak mendekati Galuh dan mengambil piring kosong di hadapan pemuda itu. 

Thanks.” 

Kata pertama yang terucap dari mulut Galuh yang Pita dengar sejak sarapan, singkat dan datar. Pelit sekali pemuda pintar ini, pikir Pita. Ia beranjak ke dapur.

"Oiya, Neng.”

Pita berhenti melangkah dan menoleh mendengar panggilan Nini.

“Sambil menunggu berangkat ke Amerika, sekitar tiga bulan lagi, ya, Galuh?” Nini menatap Galuh untuk memastikan.

Galuh mengangguk.

“Galuh bakal tinggal di sini sama kita."

Refleks Pita menoleh pada Galuh yang meliriknya dengan sorot malas tak peduli.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 25, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Selaksa Kerlip BintangWhere stories live. Discover now