1

205 10 0
                                    

Dering ponsel mengusik tidurku yang tidak begitu nyaman ini. Tanpa membuka mata pun ku tahu siapa orang dibalik panggilan masuk ini. Dia adalah orang yang kurang lebih 5 bulan belakangan ini selalu berada di riwayat panggilan teratasku.

“hmm?” sapaku dengan mata yang masih tertutup.

“Zef.. Masih tidur?” terdengar suaranya dibalik telfon genggamku. Suara serak itu terdengar menenangkan untuk didengar di pagi hari. Tapi tidak untuk hari ini. Aku terlalu lelah untuk berbincang dengannya pagi ini.

“Zef?” karena ia tak kunjung mendengar jawabanku, kembali ke metode klasik untuk membangunkanku.

“Zefa, ini udah setengah 7 kamu ngga ke kampus? Kemarin bilangnya ada kuis.. hm?” ucapnya dengan lembut namun ada penekanan di kalimat terakhir. Oh Astaga iya.. kuis… di hari senin… pagi.. oh yang benar saja.

“setengah 7 apanya sih? Ini tuh masih jam—” pupil mataku membesar ketika menyadari bahwa ponselku menunjukkan angka 6:15.

“Thaaa bentar aku mau mandi dulu!!” teriakku meninggalkan sambungan telfon dari Astha berniat membersihkan diriku yang kuharap hanya memakan waktu tak lebih dari 5 menit.

“Okay, I’ll wait you downst—”

“and nope, ngga perlu jemput. See u later, Tha!” sambungan telfon pun terputus. Tidak, kuputus.


***


“Re, abis ini udah ngga ada kelas lagi kan?” tanyaku sambil membereskan barang-barangku.

“Tadi sih kata Dewa kelasnya Bu Susi bakal kosong. Ada workshop gitu bilangnya. Jadi ya gaada kuis.” ujar Raihan.

“Yes syukur deh. Gila ga belajar gue. Tadi aja gue bisa ngga masuk kelas Bu Prof kalo ga dibangunin Astha. Penyelamat emang Astha sayang.” curhatku yang dibalas gelengan olehnya.

“Pantesan tumbenan banget lo dateng telat. Untung lo ngga dikunciin tuh sama doi” balas Raihan.

Ponselku pun berdering, panggilan masuk dari Astha. Beranjak untuk meraihnya, namun kalah cepat. Ponselku jatuh ke tangan Raihan.

“Yaelah masih pagi juga udah telfonan aja lo” ucapnya sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo? Iya.. Oh Zefa ya? Eh Zefa mana dah?” goda Rere.

“Re buruan kek. Mana Zefa?” suara Astha terdengar kesal. Aku yang mendengarnya langsung merebut ponsel dari Rere. 

“Halo Tha? Hehe iya maaf ya tadi aku lagi beres-beres jadi yang angkat Rere..” ucapku selembut mungkin untuk menghindari pertikaian si oknum pelaku dengan Astha.

“buruan turun, aku udah di bawah.”

“lah kamu ngga ada kelas?” dahiku mengernyit. Karena aku juga memegang jadwal kelas Astha, tentu aku tau bahwa dia seharusnya pada jam ini berada di kelas. Tapi ini..?

“diTA-in Adnan tenang aja. Buruan ya” Lalu ia mematikan sambungan telfonnya.

Aku pun menuruni tangga gedung fakultasku sambil merutuki jadwal yang ku ambil dimana hari senin adalah hari terburuk pada semester ini. Satu-satunya hari dimana kamu tidak ingin memasukinya dan lebih memilih titip absen apabila dosennya memungkinkan. Sayangnya semua tidak berjalan sesuai keinginanku. Karena jadwal hari Senin dimulai pukul 7 pagi dan kelasnya terletak di lantai 4. Oh aku tidak mengeluh, hanya saja gedung ini tidak memiliki lift. Dalam arti lain hari Senin telah memaksamu olahraga pagi dengan menaiki banyaknya anak tangga menuju lantai 4. Belum lagi jika kamu kesiangan yang tidak memungkinkan untukmu menikmati sarapan terlebih dahulu. Alhasil pada saat kamu menduduki bangku dalam kelas kamu hanya bisa mengatur nafas dan menahan rasa lapar hingga kelas terakhir.

Akhirnya aku sampai pada lantai dasar dan menemukan Astha sedang duduk di Halte bersama kakak tingkat fakultasku—dan tentu saja fakultas Astha. Kulihat ia sedang berbincang santai dengan mereka dan hanya satu yang ku kenal dari deretan kakak tingkat yang dikagumi maba pada umumnya—Kak Calvin. Bagaimana tidak? Meskipun vibe-nya terlihat menyeramkan namun tetap ada saja adik tingkat yang masih berani mendekatinya. “Justru yang keliatan galak tuh biasanya yang paling soft tau, lo belum tau aja.” jawaban mereka mengenai alasan mengapa bisa suka sama Kak Calvin. Kalau kamu sudah kenal baik dengannya mungkin kamu akan setuju dengan pernyataan mereka. Karena itu yang aku alami saat ini. Karna wajah dengan perilaku berbanding terbalik 180 derajat. Ups, maaf dedek-dedek gemesnya Kak Calvin hehe. Kalau ngga karna Astha dan Kak Bian—pacar Kak Calvin mana mungkin aku tau kelakuan Kak Calvin sebenernya.

Dari jarak yang kurang dari satu meter ini aku bisa melihat Astha masih menghisap cairan berasa itu dan menghembuskannya ke udara. Dia ngga sadar bahwa aku telah di dekatnya.

“Tha!” panggilku yang membuat sederet penghuni halte kala itu menoleh ke arahku dan begitu mengerti untuk siapa panggilan itu ku ucapkan mereka kembali pada kegiatan mereka masing-masing, kecuali Kak Calvin.

“Oy Zef! Udah selese kelas lo?” sapanya.

Sementara Astha sedang membereskan peralatannya yang katanya pengganti rokok dan less dangerous tapi bagiku tetap saja itu berbahaya bagi kesehatan.

“Hehe udah, Kak. Bu Susi lagi workshop makanya kelas gue kosong” ucapku sambil nyengir.

“Bang gue cabut dulu ya,” pamit Astha.

“Yoot, tiati lo berdua.” ucap Kak Calvin.

“Duluan Kak!” balasku.

Astha menggenggam tangan ku menjauhi kerumunan dan menuju tempat parkir. Kami berdua pun memasuki mobil Astha. Wangi maskulin khas Astha langsung menyeruak. Wanginya menenangkan dan membuatku nyaman.

Aku rindu berada di pelukan Astha. Mencium wangi parfum yang ia gunakan yang menempel pada hoodie yang ia kenakan. Astha masih terdiam tidak mengatakan sepatah kata pun. Akhirnya aku menoleh dan mendapatinya melamun.

"Tha?" sapaku. Ia masih tak berkutik dan untuk beberapa menit selanjutnya dia tetap begitu.

Ia menoleh dan tersenyum. Kemudian melontarkan kalimat yang tidak kuduga akan keluar dari mulutnya. Karena kita memutuskan untuk tidak membahas masalah ini.







.




Mari kita ucapkan bismillah untuk kelangsungan cerita ini.

Xx

strawberries & cigarettesWhere stories live. Discover now